ENAM LANGKAH UNTUK
MENCIPTAKAN KEDAMAIAN
MENURUT KITAB ATHARVA
VEDA
Oleh : I Nengah Sumendra, S.Ag., M.Fil.H
Untuk mengawali apa
yang diwacanakan pada kesempatan ini, sebelumnya terimalah salam Panganjali
Umat; “Om Swastyastu” dan Semoga pikiran yang baik datang dari segala
penjuru.
I. PENDAHULUAN
Pada kesempatan ini kami akan membawakan materi
dengan Tema “ Enam Langkah untuk menciptakan Kedamaian (Kerta Langu) di Bumi ”. Tema ini kami wacanakan dan haturkan kepada
para pembaca umumnya dan khususnya umat sedharma untuk turut ikut serta dalam
upaya memberikan sumbangan pemikiran Hindu tentang bagaimana menata hidup dan
kehidupan ini agar tercipta kedamaian, demokrasi dan gender dalam kehidupan
ini. Kedamaian atau Ketentraman (Kerta Langu), . adalah Dambaan seluruh
sekalian alam baik secara kommunal maupun secara individual (personal).
Maksudnya adalah Dambaan akan kedamaian itu tidak hanya bagi umat manusia,
tetapi tumbuh-tumbuhan dan binatangpun memerlukan kedamaian itu. Kemudian perlu
dipahami juga bahwa kedamaian itu bukan dibutuhan saat ini saja, tetapi
kedamaian itu dibutuhkan oleh seluruh sekalian alam baik untuk masa lalu, masa
kini dan masa yang akan datang. Demikianlah Sabda, intruksi dan pesan dari
Kitab Suci Veda yang harus kita ditindaklanjuti. Sehingga apabila dalam
kehidupan ini setiap umat manusia umumnya dan khususnya umat Hindu mampu
mewujudkan kedamaian itu maka ini sejalan dengan impian umat manusia yaitu
untuk menciptakan Sorga di Dunia dapat kita wujudkan. Tetapi ternyata masih banyak
umat yang keliru memaknai hidupnya khususnya tentang suasana alam sorgawi yang
mereka dambakan disaat alam kematian, Mereka berharap masuk sorga atau
menikmati suasana alam sorgawi disaat kematian tetapi melupakan suasana sorgawi
dalam kehidupannya saat didunia pana ini. Pada hal proses kematian yang baik
adalah “Hidup yang baik dulu, baru mati yang baik”. Yakin tidak?
Pemahaman ini ilmiah, Contoh; Anggaplah setiap orang kita andaikan seperti
Playsdisk, kemudian masukan Playsdisk itu dalam sebuah computer ternyata
dalam computer itu ternyata data/file dalam playsdisk itu terkontaminasi oleh
sebuah Virus. Dan selanjutnya masukan playsdisk itu ketempat computer yang lain
maka data/file yang terkena virus akan terbawa oleh memory yang dibawa dari
computer sebelumnya. Demikian pula halnya manusia Pengalaman kehidupan yang
dilakukan dan dirasakan dalam hidupnya didunia pana ini akan terbawa oleh
memory manusia itu disaat Ia di Alam kematian nanti. Maka jelasnya kalau kita
ingin Sorga atau Moksa di Alam kematian maka Kata Kuncinya kita harus bahagia
(Hita) dulu di dunia ini. Coba Renungkan Tujuan Umat Manusia menurut ajaran
Agama Hindu adalah “Moksartam Jagadhita” artinya Hendaknya Hita didunia
(Jagadhita) dan Hita di akhirat disebut (Moksa).
Pemikiran Hindu tentang
kedamaian tersirat dan tersurat dalam Kitab Suci Veda, beberapa diantaranya
sebagai berikut;
“Mitrasya ma caksusa sarwani Bhutani samiksantam,
Mitrasyaham caksusa sarwani Bhutani samikse,
Mitrasya caksusa samiksamahe” (Yayur
Veda, XVI.18).
Artinya :
“Semoga mahkluk memandang kami dengan pandangan seorang sahabat, Semoga
saya memandang semua mahkluk sebagai sahabat, Semoga kami saling berpandangan
penuh persahabatan”.
“Om Dyauh santir antariksam santih,
Prthivi santir apah santih,
Osadhayah santih Vanaspatayah santir,
Visve devah santir brahma santih,
Sarvam santih santir eva santih,
Sa ma santir Widhi” (Yayur Veda,
XXXVI.17).
Artinya :
Semoga ada kedamaian di Langit, damai di Angkasa, damai di Bumi, damai
di Air, damai pada Tumbuh-tumbuhan, damai pada Pepohonan, damai bagi para
Dewata, damailah Brahma, damailah Alam Semesta, Semoga kedamaian senantiasa
datang kepada kami”.
“Santam bhutam ca bhavyam ca
Sarvam eva sam astu nah “(Atharva
Veda XIX.9.2).
Artinya :
“Semoga masa lalu, masa kini dan masa datang penuh
kedamaian dan amat ramah kepada kami”.
“Om Asato masat gamaya,
Tamaso ma jyotir gamaya,
Mrtyor ma amrtam gamaya” (Brhad
Aranyaka Upanisad, I.3.28).
Artinya :
“Ya Tuhan Bimbinglah kami dari ketidak benaran menuju kebenaran yang
sejati, Bimbinglah kami dari kegelapan menuju jalan yang terang benderang,
Bimbinglah kami dari kematian Rohani menuju kehidupan yang kekal abadi”.
Dari beberapa petikan mantra/sloka Suci (ayat suci) Veda di atas,
memberikan sebuah perintah (intruksi) dan pesan kepada kita semua bahwa dalam
hidup dan kehidupan ini kita harus tumbuhkan jiwa kemitraan/persahabatan untuk
menciptakan kedamain di Alam Semesta ini termasuk di Bumi, sehingga terbentuk
sebuah pondasi kedamaian yang kuat baik masa lalu, masa kini dan masa datang.
Apabila kedamaian sudah ditanamkan dan ditumbuhkan di Alam Semesta/Bumi maka
akan bermuara seperti apa yang di idamkan oleh sekalian Alam, yaitu munculnya
cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam diri manusia (divine Man), Cahaya-cahaya
ke-Ilahian dalam kehidupan sosial masyarakat (divine Sociati), dan cahaya
ke-Ilahian dalam lingkungan Alam (divine Ekosistem), yang berujung pada
pencapaian kebahagiaan (kedamaian, keharmonisan, penyatuan, pemuliaan ) abadi.
Tetapi fenomena dewasa ini, ternyata kedamaian semakin menjadi harga
mahal bagi kita semua, padahal dalam sebuah pengakuan kita mengakui dan diakui
sebagai orang yang beragama, dengan status orang beragama itu mestinya
orang-orang beragama secara kontinyu selalu untuk berupaya mewujudkan suasana
kedamaian (santih) di Bumi ini, Orang-orang beragama mampu memberikan
penyembuhan (konseling) terhadap dirinya dan orang lain disaat-saat mengalami
goncangan kejiwaan akibat dari suatu masalah, dimana orang-orang psikologi
menyebutnya dengan ‘kekusutan mental’ .
Dengan cara apa ?, tentunya dengan menggunakan ayat-ayat kitab suci dan
sastra-sastra agama kita sebagai pedoman dan tablet/kapsul yang harus diramu
dan selanjutnya dikonsumsi sebagai obat untuk men-konseling atau terapi psikis
terhadap dirinya. Tetapi kenyataannya tidak sedikit orang-orang beragama;
Jiwanya tidak harmonis, Menciptakan suasana disharmoni, Jiwanya mengalami
kekusutan mental, dan paling ironis sikap dan tindakannya justru tidak
mencerminkan orang-orang beragama.
Pernyataan di atas, diperkuat dengan fenomena yang sering terjadi
disekitar kehidupan kita, misalnya ; terjadinya pertikaian antara kelompok
masyarakat satu dengan kelompok masyarakat yang lain, baik karena perbedaan
ras, suku, agama, golongan, profesi, dll. Terjadinya pertengkaran dalam
kehidupan rumah tangga antara suami dengan istri, antara orang tua dengan anak.
Banyak orang yang stress dan kemudian struk akibat yang awalnya kaya kemudian
jatuh miskin, tidak siap dengan kemiskinannya. Banyak terjadi kasus bunuh diri
(ulah pati) akibat beban hidup dan
hal-hal yang sepele.
Dengan semakin menjamurnya fenomena seperti itu, saya sempat berpikir
apakah ini mungkin karena manusia memang bukan mahluk harmonis, bukan
mahluk teratur dan tertib sehingga aksi reaksinya membawa dampak menjadi
mahluk yang susah diatur, susah teratur dan susah tertib. Tetapi hal
seperti ini jangan dibiarkan sampai pada titik klimaks yang menggiring dunia
ini terjerumus pada kegelapan (timira), karena apabila lampu dirumah mati dan
dibarengi lagi dengan lampu rohani/jiwa (spiritual) kita mati dunia akan
semakin gelap (timira), maka ini adalah bibit dari kehancuran.
Merujuk pada sekelumit fenomena yang kami sebutkan tadi, untuk
membentengi diri baik secara indhividu maupun komunal dalam kehidupan beragama
dan bernegara agar tidak terjerumus kepada suasana kegelapan, marilah kuatkan
keyakinan (sraddha) kita kembali untuk lebih meyakini dan menggunakan ayat-ayat
kitab suci / sastra-sastra agama dan Aktivitas keagaaman seperti Hari-hari Suci
sebagai pedoman untuk menata hidup dan kehidupan ini yang bermuara pada hakekat
sesungguhnya; bahwa umat manusia butuh keharmonisan, keteraturan,
ketertiban dan kedamaian. Dimana Ajaran Agama Hindu mengkemasnya/meng-instan-kan
dengan sebuah tujuan hidup atau Visi / Misi Hidup Yaitu : “Mosartam Jagadhita” kebahagian di Dunia dan Kebahagiaan di Alam
Sunya (akhirat).
II. ISI
Untuk mewujudkan tujuan hidup itu, maka umat manusia harus memiliki
impian tentang Kedamaian, impian ini penting dimiliki sebagai sarana untuk
menambah spirit dan memotivasi diri untuk mewujudkannya. Tetapi bukan hanya
sekedar impian seperti yang dimiliki oleh Republik Impian yang tayang dalam
sebuah stasiun TV belakangan ini. Melainkan sebuah Impian yang akan
mengantarkan umat manusia kependakian spiritual untuk menumbuhkan karakter
ke-Ilahian (kedewataan/Daiwi sampad) sebagai bekal rohani untuk menuju
kebahagiaan (kedamaian) abadi. Pesan yang sama akan pentingnya impian ini juga
terdapat dalam Kekawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut:
“Mucap ta ya tumut ri
sabda yam anon mamoring mata”,
Pada waktu berkata beliau ada dalam perkataan, pada waktu melihat beliau
ada dalam penglihatan,
“Ngungasta ya lulu tri
gandha mamangan tumut mangrasa”,
Pada Waktu mencium/kepekaan beliau ada dalam kepekaan, pada waktu makan
beliau ada dalam makanan,
“Mangidepa tumut ri
citta matutur sama tankari”,
Pada Waktu berpikir beliau ada dalam pikiran, pada waktu berwacana
beliau ada dalam wacana,
“Manusuksma siluman ri
ngambeka sarira pancendriya”.
Hendaknya beliau menjadi intisari dalam tubuh yang selanjutnya di
jawantahkan melaui segenap indriya.
Berdasarkan Kekawin Arjuna Wiwaha
tadi, maka mari kita selalu mewartakan kedamaian itu dalam kata-kata,
penglihatan/pandangan, kepekaan, makanan, pikiran, pewacanaan, hati/jiwa, dan
selanjutkan amalkan melalui panca indriya.
Salah satu ajaran Sraddha menurut Atharva Veda, XII.1.1 menyatakan agar
umat manusia melakukan enam macam perbuatan secara sinergi dalam hidupnya di
bumi ini untuk menciptakan keharmonisan, kelestarian dan kedamaian di Bumi.
Adapun lebih jelasnya sebagai berikut:
“Satyam brhad rtam ugram diksa, tapo, brahma, yajna prthivim
dharayanti”.
Terjemahannya.
“Sesungguhnya Kebenaran/Kejujuran/Kebajikan(satya), hukum (rta),
inisiasi / penyucian (diksa), pengendalian indria (tapa), pujian / Gita / doa (brahma), pengorbanan (yajna) adalah yang menyangga Bumi” (Atharva Veda, XII.1.1).
Berdasarkan Mantra Atharva Veda tersebut dinyatakan bahwa ibu pertiwi
atau Bumi akan seimbang (harmonis/damai) apabila disangga oleh Enam prilaku
Suci. Enam prilaku suci sebagai Enam Langkah untuk Menciptakan Kedamaian
/keharmonisan yang dimaksud adalah Satyam, Rtam, Diksa, Tapa, Brahma, dan
Yajña.
Pengenjawantahan keyakinan (sraddha) oleh umat manusia atas pengetahuan
suci yang dimiliki berdasarkan kitab suci itu, ini harus ditindak lanjuti dengan
sebuah pemaknaan, kemudian seterusnya sampai pada sebuah action yaitu
pelaksanaan aktivitas-aktivitas keagamaan, dan yang tidak kalah penting dari
itu semua, umat manusia harus melaksanakan intruksi ataupun pesan apa yang
hendak di sampaikan, yang mesti harus ditindak lanjuti pada pra-pelaksanaan,
pada saat dan setelah pelaksanaan aktiviatas keagamaan itu berlangsung.
Masih merujuk kepada Mantra Atharva Veda tersebut, bila dikaitkan dengan
kehidupan kita di Bumi ataupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
hendaknya merujuk kepada Enam Langkah sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam
Atharva Veda tersebut, tetapi hendaknya selain dijadikan dasar keyakinan, maka
pemaknaan, intruksi dan pesan yang hendak disampaikan ini harus dipahami oleh
segenap umat manusia, sehingga Enam Langkah ini benar-benar dapat menciptakan
Kedamaian /keharmonisan di Bumi, atau dapat mewujudkan pengamalan ajaran agama
secara mantap. Mantap yang dimaksud adalah Terakomodasinya Tiga Kerangka Dasar
dalam aspek pendidikan yaitu Kognitif (Pengetahuan), Afektif (Sikap) dan
Psikomotor (Prilaku) yang mana ketiga aspek ini sejalan dengan Kerangka Dasar ajaran
agama Hindu Yaitu Tattwa, Susila dan Upacara atau setidaknya bahwa makna
kesucian, ketulusan, kebersamaan, Penyatuan/kesatuan, kebersamaan, kemuliaan,
ketentraman, keseimbangan dan yang lainnya tetap dipahami dengan baik.
Pada kesempatan yang berbahagia ini marilah kita gunakan kitab suci
Atharva Veda XII.I.I sebagai dasar pandangan dan pedoman untuk menata
hidup dan kehidupan kita, sebagai upaya untuk menciptakan Kedamaian /
keharmonisan di Bumi. Untuk lebih jelasnya mari kita cermati dengan dasar
pandangan dan pedoman yang dimaksud, adalah sebagai berikut:
1. Satyam = Perilaku kebenaran, Kebajikan, kejujuran, keadilan, tidak
berbuat diskriminatif pada sesama, dan
pengetahuan tentang kesucian dan kebenaran.
2. Rtam = Hukum alam dan hukum duniawi, prilaku untuk tidak merusak
system hukum. Menata hidup dan kehidupan ini dengan prilaku yang tidak
bertentangan dengan hukum alam (hukumnya Tuhan) dan hukum duniawi (hukum yang
di buat manusia (berdasarkan musyawarah mufakat) agar prilaku manusia tidak
menyimpang dan merusak system hukum sehingga kedamaian abadi dapat terwujud.
3. Diksa = Kesucian, penyucian (inisiasi), berprilaku kesucian. Agar nilai
kesucian ini dapat diwujudkan dan berlangsung dan dipertahankan secara
berkesinambungan maka salah satu sastra suci yang dapat di pedomani adalah
seperti ucap sastra suci dalam Lontar Silakrama, 41 adalah sebagai berikut :
“Sudhdha
ngaranya enjing-enjing madyusa suddha sarira, masurya sevana, mamuja, majapa,
mahoma”.
Terjemahannya.
“Sucilah namanya, tiap hari menyucikan diri, mandi,
sembahhyang kepada Tuhan, melakukan pemujaan, berjapa dan melaksanakan upacara
yajna/homa yajna/agni hotra”.
4. Tapa = Pengekangan diri, pengendalian indria atau
berprilaku dengan menahan diri dari hawa nafsu
yang berlebihan. Dalam hidup dan kehidupan ini dibutuhkan sebuah pengendalian
diri, agar tidak terjerumus kelembah penderitaan atau agar tidak memunculkan
sebuah konflik baru yang menyebabkan nilai kesucian, kebersamaan, penyatuan,
keharmonisan dan pemuliaan menjadi semakin jauh. Sehingga dalam hal ini
pengendalian diri sangat penting, sehingga konsep mensorgakan (kedamaian abadi)
dunia ini dapat diwujudkan. Agar dapat melakukan pengendalian diri dengan baik,
mari kita berpedoman kepada sastra suci, seperti yang dinyatakan dalam Lontar
Jnana Tattwa, 102-103 adalah sebagai berikut:
“Nihan kang prayogasandhi, kengetakena,
prayogasandhi ngaranya, upaya lwirnya, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana,
Dhyana, Tarka, Samadhi, maka pusa pusika kabeh, sandhi ngaranya”.
Terjemahannya.
“Inilah prayogasandhi, hendaknya diingat, prayogasandhi
artinya Usaha, yaitu Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, Tarka, dan
Samadhi, ikatan semua itu disebut sandhi”.
Sastra ini memberikan petunjuk untuk selalu
melakukan Tapa dengan metode-metode/langkah seperti yang tersebut dalam Jnana Tattwa
itu.
5. Brahma = Berdoa, melantunkan kidung-kidung suci / Gita, prilaku yang selalu
melantunkan doa / gita untuk memberikan vibrasi
kesucian pada diri sendiri, orang lain dan
seluruh sekalian alam. Prilaku untuk selalu
melantunkan Brahma / Doa / Gita / Kirtanam / Zikir Suci penting untuk dilakukan
sehingga dengan Brahma ini semakin mempertahankan nilai-nilai Satyam
(kebenaran), Sivam (kesucian) dan Sundaram (keharmonisan dan estetika). Misalnya,
melantunkan Kirtanam , Ma- Dharma Gita
/ Zikir.
6. Yajña = Pengorbanan, prilaku atau perbuatan
nyata untuk ikhlas berkorban demi tegaknya kebenaran
dan kesucian. Hakekat dari prilaku yajna itu
harus tetap yang menjadi dasar dan tujuan dari hidup dan kehidupan ini, seperti
ucap sastra suci Agastya Parwa ada ditegaskan yajna adalah sesuatu prilaku
untuk mencapai sorga/kedamaian dapat di wujudkan. sebagai berikut:
“Kalinganya: tiga ikan karyamuhara swarga ; tapa,
yajna, kirtti….”.
Terjemahannya.
Ada tiga macam prilaku yang menyebabkan Kedamaian /
Sorga, yaitu Tapa (pengendalian diri), Yajna (Pengorbanan Suci,Iklas berkarma /
kerja), Kerti (kebajikan)…”.
Kutipan sastra tersebut secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa tentang tiga macam perbuatan (karma) yang menyebabkan seseorang
dapat menciptakan sorga di dunia, baik dalam dirinya, orang lain maupun
sekalian alam. Yang mana salah satu prilaku (karma) itu adalah dengan
melaksanakan Yajna. Selanjutnya yang tidak kalah penting Silakramaning dari
yajna itu (etika dalam beryajna) harus diperhatikan agar yajna itu termasuk
yajna yang Sattvika (yajna yang paling baik). Menurut Kitab Suci Bhagavadgita,
XVII.11 terurat dan tersirat sebagai berikut :
“Aphalakanksibhir
yajno,
Vidhi-drsto
ya ijyate,
Yastavyam
eveti manah,
Samadhaya
sa sattvikah”.
Artinya :
Yajna sesuai dengan petunjuk kitab-kitab suci,
dilakukan dengan penuh keikhlasan, dengan keyakinan yang kuat, dilakukan yajna
dengan dasar tugas dan kewajiban, ini adalah yajna yang sattvika”.
Kemudian menurut sastra suci Ketattwaning Tapini dan Rare
Angon, ada beberapa hal yang harus di kendalikan (etika beryajna) dalam
beryajna sbb:
“ Yan hana wong kumingkin karya hayu: (kalau ada
umat manusia yang ingin melakukan/berbuat kebajikan )
·
Awya sira pwang anglem druwya
(tidak boleh tidak ikhlas).
·
Aywa Wak purusa (tidak boleh berkata
kotor yang menjauhkan dari kesucian).
·
Aywa ujar apergas (tidak boleh berkata
kasar yang menyebabkan disharmoni).
·
Aywa Ujar gangsul (tidak boleh berkata
keras yang menyebabkan pertikaian).
·
Ujar menak pwa sira warahan
(berkatalah yang baik mesti diucapkan)”.
Demikianlah bahwa apabila kita laksanakan dengan pemahaman yang baik
kemudian dibarengi dengan upaya untuk mewujudkan nilai-nilai yang dikandungnya,
maka prilaku-prilaku tersebut akan menciptakan kedamaian di Bumi, dimana
Hindu menyebutnya sebagai suasana yang penuh dengan Kerta Langu (tentram,
indah) atau Satwam, Siwam, Sundaram. Mengapa suasana Kedamaian (Santih / Kerta Langu) ini perlu
diciptakan?, Agar Pancasila Undang –Undang Dasar empat lima jaya. Dengan Jalan
Apa ?..Bangkitlah semangat bekerja untuk mengabdi pada nusa dan bangsa, melalui
pelaksanaan Dharma Agama dan Dharma Negara. Mengapa suasana Kedamaian (Santih / Kerta Langu) ini perlu
diciptakan?, Agar Keyakinan (Sradha) jadi kuat, agar bhakti (cinta kasih,
pelayanan, sujud ) tumbuh dalam hati/jiwa kita (Padma Hredaya). Dengan jalan
Apa ?, Bulatkanlah persatuan dan kesatuan dalam perjuangan, untuk menegakan
kejujuran, tidak diskriminasi (Satyam).
Kesucian, berprilaku kesucian (Sivam).
Keharmonisan, kedamaian, keindahan (Sundaram).
Melalui Pelaksanaan Enam Kebajikan (Sad
Dharma), yaitu :
1)
Mewacanakan Kebajikan, kebenaran, cinta kasih dan
kedamaian (Dharma Wacana),
2)
Melantunkan Kebajikan dan kedamaian (Dharma Gita),
3)
Berdiskusi atau berdemokrasi tentang kebajikan dan
kedamaian (Dharma Tula),
4)
Melaksanakan Kebajikan dan kedamaian (Dharma
Sadana),
5)
Melakukan Perjalanan Kebajikan dan kedamaian
(Dharma Yatra),
6)
Selalu mengupayakan Perdamaian /keharmonisan
(Dharma Santih).
Untuk itu dalam kehidupan ini hendaknya selalu Bhakti ( hormat, sujud,
mencintai, mengasihi, ikhlas) terhadap Kedamaian/keharmonisan itu, agar
nilai Kesucian, Ketulusan, kebersamaan, Penyatuan, dan Pemuliaan dapat di
pertahankan. Karena dalam Kitab Suci Bhagavadgita dinyatakan walaupun sedikit
dari dharma (prilaku kejujuran/kebajikan) yang kita lakukan akan membebaskan
dari cengkraman ngeri / kesengsaraan. Seperti berikut ini:
“Neha Bhikramanaso sti,
Pratyavayo na vidyate,
Svalpam apy asya dharmasya,
Trayate mahato bhayat”.
Terjemahannya.
“Dalam hal ini tidak ada usaha sia-sia, dan juga tak ada rintangan yang
tak teratasi, Walau sedikit dari Kebajikan (dharma) ini akan membebaskan dari
cenkraman ngeri/kesengsaraan”(Bhagavadgita,II.40).
III. PENUTUP
Merujuk pada sekelumit uraian di atas, maka untuk membentengi diri baik
secara indhividu maupun komunal dalam kehidupan beragama dan bernegara agar
tidak terjerumus kepada suasana kegelapan, dibutuhkan keyakinan (sraddha) dan bhakti yang kuat dalam membumikan ataupun mengimplementasikan
prinsip prinsip dasar Tattwa, Susila, Acara yang terkandung di
dalam kitab suci / sastra-sastra suci agama Hindu yang lainnya dalam aktivitas
keagaaman sehari-hari, seperti pesan pesan nilai yang harus ditindaklanjuti
dalam perayaan Hari-Hari Suci Kegamaan Hindu sebagai pedoman untuk menata hidup
dan kehidupan ini, yang pada akhirnya akan bermuara pada hakekat sesungguhnya
yaitu, bahwa umat manusia butuh keharmonisan, keteraturan, ketertiban dan
kedamaian. Didalam Ajaran Agama Hindu hal-hal yang dimaksud dikemasnya dengan
sebuah tujuan hidup atau visi / misi hidup Yaitu : “Mosartam Jagadhita” kebahagian di Dunia dan Kebahagiaan di Alam
Sunya (akhirat).
“Om Santih, Santih,
Santih Om”.
Update, 26 Juni 2017
Pranam-Mendrajyothi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar