teks berjalan

karmany evadhikarãste, mã phalesu kadãcana, mã karma-phala-hetur bhŭr , mã te sango ‘stv akarmani (B.G. Dwitiya adhyaya, sloka 47) -- Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu (yang kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula berdiam diri tanpa kerja.

Generasi Muda Hindu Anti Narkoba

Senin, 26 Juni 2017

ENAM LANGKAH UNTUK MENCIPTAKAN KEDAMAIAN MENURUT KITAB ATHARVA VEDA

ENAM LANGKAH UNTUK MENCIPTAKAN KEDAMAIAN
MENURUT KITAB ATHARVA VEDA

Oleh : I Nengah Sumendra, S.Ag., M.Fil.H

Untuk mengawali apa yang diwacanakan pada kesempatan ini, sebelumnya terimalah salam Panganjali Umat; “Om Swastyastu” dan Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.

I. PENDAHULUAN
Pada kesempatan ini kami akan membawakan materi dengan Tema “ Enam Langkah untuk menciptakan Kedamaian (Kerta Langu) di Bumi ”. Tema ini kami wacanakan dan haturkan kepada para pembaca umumnya dan khususnya umat sedharma untuk turut ikut serta dalam upaya memberikan sumbangan pemikiran Hindu tentang bagaimana menata hidup dan kehidupan ini agar tercipta kedamaian, demokrasi dan gender dalam kehidupan ini. Kedamaian atau Ketentraman (Kerta Langu), . adalah Dambaan seluruh sekalian alam baik secara kommunal maupun secara individual (personal). Maksudnya adalah Dambaan akan kedamaian itu tidak hanya bagi umat manusia, tetapi tumbuh-tumbuhan dan binatangpun memerlukan kedamaian itu. Kemudian perlu dipahami juga bahwa kedamaian itu bukan dibutuhan saat ini saja, tetapi kedamaian itu dibutuhkan oleh seluruh sekalian alam baik untuk masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Demikianlah Sabda, intruksi dan pesan dari Kitab Suci Veda yang harus kita ditindaklanjuti. Sehingga apabila dalam kehidupan ini setiap umat manusia umumnya dan khususnya umat Hindu mampu mewujudkan kedamaian itu maka ini sejalan dengan impian umat manusia yaitu untuk menciptakan Sorga di Dunia dapat kita wujudkan. Tetapi ternyata masih banyak umat yang keliru memaknai hidupnya khususnya tentang suasana alam sorgawi yang mereka dambakan disaat alam kematian, Mereka berharap masuk sorga atau menikmati suasana alam sorgawi disaat kematian tetapi melupakan suasana sorgawi dalam kehidupannya saat didunia pana ini. Pada hal proses kematian yang baik adalah  “Hidup yang baik dulu, baru mati yang baik”. Yakin tidak? Pemahaman ini ilmiah, Contoh; Anggaplah setiap orang kita andaikan seperti Playsdisk, kemudian masukan Playsdisk itu dalam sebuah  computer ternyata dalam computer itu ternyata data/file dalam playsdisk itu terkontaminasi oleh sebuah Virus. Dan selanjutnya masukan playsdisk itu ketempat computer yang lain maka data/file yang terkena virus akan terbawa oleh memory yang dibawa dari computer sebelumnya. Demikian pula halnya manusia Pengalaman kehidupan yang dilakukan dan dirasakan  dalam hidupnya didunia pana ini akan terbawa oleh memory manusia itu disaat Ia di Alam kematian nanti. Maka jelasnya kalau kita ingin Sorga atau Moksa di Alam kematian maka Kata Kuncinya kita harus bahagia (Hita) dulu di dunia ini. Coba Renungkan Tujuan Umat Manusia menurut ajaran Agama Hindu adalah “Moksartam Jagadhita” artinya Hendaknya Hita didunia (Jagadhita) dan Hita di akhirat disebut (Moksa).

Pemikiran Hindu tentang kedamaian tersirat dan tersurat dalam Kitab Suci Veda, beberapa diantaranya sebagai berikut;
“Mitrasya ma caksusa sarwani Bhutani samiksantam,
Mitrasyaham caksusa sarwani Bhutani samikse,
Mitrasya caksusa samiksamahe” (Yayur Veda, XVI.18).

Artinya :
“Semoga mahkluk memandang kami dengan pandangan seorang sahabat, Semoga saya memandang semua mahkluk sebagai sahabat, Semoga kami saling berpandangan penuh persahabatan”.

“Om Dyauh santir antariksam santih,
Prthivi santir apah santih,
Osadhayah santih Vanaspatayah santir,
Visve devah santir brahma santih,
Sarvam santih santir eva santih,
Sa ma santir Widhi” (Yayur Veda, XXXVI.17).

Artinya :
Semoga ada kedamaian di Langit, damai di Angkasa, damai di Bumi, damai di Air, damai pada Tumbuh-tumbuhan, damai pada Pepohonan, damai bagi para Dewata, damailah Brahma, damailah Alam Semesta, Semoga kedamaian senantiasa datang kepada kami”.

“Santam bhutam ca bhavyam ca
Sarvam eva sam astu nah “(Atharva Veda XIX.9.2).

Artinya :
“Semoga masa lalu, masa kini dan masa datang penuh kedamaian dan amat ramah kepada kami”.

“Om Asato masat gamaya,
Tamaso ma jyotir gamaya,
Mrtyor ma amrtam gamaya” (Brhad Aranyaka Upanisad, I.3.28).

Artinya :
“Ya Tuhan Bimbinglah kami dari ketidak benaran menuju kebenaran yang sejati, Bimbinglah kami dari kegelapan menuju jalan yang terang benderang, Bimbinglah kami dari kematian Rohani menuju kehidupan yang kekal abadi”.

Dari beberapa petikan mantra/sloka Suci (ayat suci) Veda di atas,  memberikan sebuah perintah (intruksi) dan pesan kepada kita semua bahwa dalam hidup dan kehidupan ini kita harus tumbuhkan jiwa kemitraan/persahabatan untuk menciptakan kedamain di Alam Semesta ini termasuk di Bumi, sehingga terbentuk sebuah pondasi kedamaian yang kuat baik masa lalu, masa kini dan masa datang. Apabila kedamaian sudah ditanamkan dan ditumbuhkan di Alam Semesta/Bumi maka akan bermuara seperti apa yang di idamkan oleh sekalian Alam, yaitu munculnya cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam diri manusia (divine Man), Cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam kehidupan sosial masyarakat (divine Sociati), dan cahaya ke-Ilahian dalam lingkungan Alam (divine Ekosistem), yang berujung pada pencapaian kebahagiaan (kedamaian, keharmonisan, penyatuan, pemuliaan ) abadi.

Tetapi fenomena dewasa ini, ternyata kedamaian semakin menjadi harga mahal bagi kita semua, padahal dalam sebuah pengakuan kita mengakui dan diakui sebagai orang yang beragama, dengan status orang beragama itu mestinya orang-orang beragama secara kontinyu selalu untuk berupaya mewujudkan suasana kedamaian (santih) di Bumi ini, Orang-orang beragama mampu memberikan penyembuhan (konseling) terhadap dirinya dan orang lain disaat-saat mengalami goncangan kejiwaan akibat dari suatu masalah, dimana orang-orang psikologi menyebutnya dengan ‘kekusutan mental’ .

Dengan cara apa ?, tentunya dengan menggunakan ayat-ayat kitab suci dan sastra-sastra agama kita sebagai pedoman dan tablet/kapsul yang harus diramu dan selanjutnya dikonsumsi sebagai obat untuk men-konseling atau terapi psikis terhadap dirinya. Tetapi kenyataannya tidak sedikit orang-orang beragama; Jiwanya tidak harmonis, Menciptakan suasana disharmoni, Jiwanya mengalami kekusutan mental, dan paling ironis sikap dan tindakannya justru tidak mencerminkan orang-orang beragama.

Pernyataan di atas, diperkuat dengan fenomena yang sering terjadi disekitar kehidupan kita, misalnya ; terjadinya pertikaian antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat yang lain, baik karena perbedaan ras, suku, agama, golongan, profesi, dll. Terjadinya pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga antara suami dengan istri, antara orang tua dengan anak. Banyak orang yang stress dan kemudian struk akibat yang awalnya kaya kemudian jatuh miskin, tidak siap dengan kemiskinannya. Banyak terjadi kasus bunuh diri (ulah pati) akibat beban hidup dan hal-hal yang sepele.

Dengan semakin menjamurnya fenomena seperti itu, saya sempat berpikir apakah ini mungkin  karena manusia memang bukan mahluk harmonis, bukan mahluk teratur dan tertib sehingga aksi reaksinya membawa dampak  menjadi mahluk yang susah diatur, susah teratur dan susah tertib. Tetapi hal  seperti ini jangan dibiarkan sampai pada titik klimaks yang menggiring dunia ini terjerumus pada kegelapan (timira), karena apabila lampu dirumah mati dan dibarengi lagi dengan lampu rohani/jiwa (spiritual) kita mati dunia akan semakin gelap (timira), maka ini adalah bibit dari kehancuran.


Merujuk pada sekelumit fenomena yang kami sebutkan tadi, untuk membentengi diri baik secara indhividu maupun komunal dalam kehidupan beragama dan bernegara agar tidak terjerumus kepada suasana kegelapan, marilah kuatkan keyakinan (sraddha) kita kembali untuk lebih meyakini dan menggunakan ayat-ayat kitab suci / sastra-sastra agama dan Aktivitas keagaaman seperti Hari-hari Suci sebagai pedoman untuk menata hidup dan kehidupan ini yang bermuara pada hakekat sesungguhnya; bahwa umat manusia butuh keharmonisan,  keteraturan, ketertiban dan kedamaian. Dimana Ajaran Agama Hindu mengkemasnya/meng-instan-kan dengan sebuah tujuan hidup atau Visi / Misi Hidup Yaitu : “Mosartam Jagadhita” kebahagian di Dunia dan Kebahagiaan di Alam Sunya (akhirat).



II. ISI

Untuk mewujudkan tujuan hidup itu, maka umat manusia harus memiliki impian tentang Kedamaian, impian ini penting dimiliki sebagai sarana untuk menambah spirit dan memotivasi diri untuk mewujudkannya. Tetapi bukan hanya sekedar impian seperti yang dimiliki oleh Republik Impian yang tayang dalam sebuah stasiun TV belakangan ini. Melainkan sebuah Impian yang akan mengantarkan umat manusia kependakian spiritual untuk menumbuhkan karakter ke-Ilahian (kedewataan/Daiwi sampad) sebagai bekal rohani untuk menuju kebahagiaan (kedamaian) abadi. Pesan yang sama akan pentingnya impian ini juga terdapat dalam Kekawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut:

“Mucap ta ya tumut ri sabda yam anon mamoring mata”,
Pada waktu berkata beliau ada dalam perkataan, pada waktu melihat beliau ada dalam penglihatan,

“Ngungasta ya lulu tri gandha mamangan tumut mangrasa”,
Pada Waktu mencium/kepekaan beliau ada dalam kepekaan, pada waktu makan beliau ada dalam makanan,

“Mangidepa tumut ri citta matutur sama tankari”,
Pada Waktu berpikir beliau ada dalam pikiran, pada waktu berwacana beliau ada dalam wacana,

“Manusuksma siluman ri ngambeka sarira pancendriya”.
Hendaknya beliau menjadi intisari dalam tubuh yang selanjutnya di jawantahkan melaui segenap indriya.

Berdasarkan Kekawin Arjuna Wiwaha tadi, maka mari kita selalu mewartakan kedamaian itu dalam kata-kata, penglihatan/pandangan, kepekaan, makanan, pikiran, pewacanaan, hati/jiwa, dan selanjutkan amalkan melalui panca indriya.

Salah satu ajaran Sraddha menurut Atharva Veda, XII.1.1 menyatakan agar umat manusia melakukan enam macam perbuatan secara sinergi dalam hidupnya di bumi ini untuk menciptakan keharmonisan, kelestarian dan kedamaian di Bumi. Adapun lebih jelasnya  sebagai berikut:

“Satyam brhad rtam ugram diksa, tapo, brahma, yajna prthivim dharayanti”.

Terjemahannya.
“Sesungguhnya Kebenaran/Kejujuran/Kebajikan(satya), hukum (rta), inisiasi / penyucian (diksa), pengendalian indria (tapa), pujian / Gita / doa (brahma), pengorbanan (yajna) adalah yang menyangga Bumi” (Atharva Veda, XII.1.1).

Berdasarkan Mantra Atharva Veda tersebut dinyatakan bahwa ibu pertiwi atau Bumi akan seimbang (harmonis/damai) apabila disangga oleh Enam prilaku Suci. Enam prilaku suci sebagai Enam Langkah untuk Menciptakan Kedamaian /keharmonisan yang dimaksud adalah Satyam, Rtam, Diksa, Tapa, Brahma, dan Yajña.

Pengenjawantahan keyakinan (sraddha) oleh umat manusia atas pengetahuan suci yang dimiliki berdasarkan kitab suci itu, ini harus ditindak lanjuti dengan sebuah pemaknaan, kemudian seterusnya sampai pada sebuah action yaitu pelaksanaan aktivitas-aktivitas keagamaan, dan yang tidak kalah penting dari itu semua, umat manusia harus melaksanakan intruksi ataupun pesan apa yang hendak di sampaikan, yang mesti harus ditindak lanjuti pada pra-pelaksanaan, pada saat dan  setelah pelaksanaan aktiviatas keagamaan itu berlangsung.

Masih merujuk kepada Mantra Atharva Veda tersebut, bila dikaitkan dengan kehidupan kita di Bumi ataupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya merujuk kepada Enam Langkah sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Atharva Veda tersebut, tetapi hendaknya selain dijadikan dasar keyakinan, maka pemaknaan, intruksi dan pesan yang hendak disampaikan ini harus dipahami oleh segenap umat manusia, sehingga Enam Langkah ini benar-benar dapat menciptakan Kedamaian /keharmonisan di Bumi, atau dapat mewujudkan pengamalan ajaran agama secara mantap. Mantap yang dimaksud adalah Terakomodasinya Tiga Kerangka Dasar dalam aspek pendidikan yaitu Kognitif (Pengetahuan), Afektif (Sikap) dan Psikomotor (Prilaku) yang mana ketiga aspek ini sejalan dengan Kerangka Dasar ajaran agama Hindu Yaitu Tattwa, Susila dan Upacara atau setidaknya bahwa makna kesucian, ketulusan, kebersamaan, Penyatuan/kesatuan, kebersamaan, kemuliaan, ketentraman, keseimbangan dan yang lainnya tetap dipahami dengan baik.

Pada kesempatan yang berbahagia ini marilah kita gunakan kitab suci Atharva Veda XII.I.I  sebagai dasar pandangan dan pedoman untuk menata hidup dan kehidupan kita, sebagai upaya untuk menciptakan Kedamaian / keharmonisan di Bumi. Untuk lebih jelasnya mari kita cermati dengan dasar pandangan dan pedoman yang dimaksud, adalah sebagai berikut:

1.  Satyam = Perilaku kebenaran, Kebajikan, kejujuran, keadilan, tidak berbuat diskriminatif pada sesama,      dan pengetahuan tentang kesucian dan kebenaran.
2.  Rtam = Hukum alam dan hukum duniawi, prilaku untuk tidak merusak system hukum. Menata hidup dan kehidupan ini dengan prilaku yang tidak bertentangan dengan hukum alam (hukumnya Tuhan) dan hukum duniawi (hukum yang di buat manusia (berdasarkan musyawarah mufakat) agar prilaku manusia tidak menyimpang dan merusak system hukum sehingga kedamaian abadi dapat terwujud.
3.  Diksa = Kesucian, penyucian (inisiasi), berprilaku kesucian. Agar nilai kesucian ini dapat diwujudkan dan berlangsung dan dipertahankan  secara berkesinambungan maka salah satu sastra suci yang dapat di pedomani adalah seperti ucap sastra suci dalam Lontar Silakrama, 41 adalah sebagai berikut :

“Sudhdha ngaranya enjing-enjing madyusa suddha sarira, masurya sevana, mamuja, majapa, mahoma”.
Terjemahannya.
“Sucilah namanya, tiap hari menyucikan diri, mandi, sembahhyang kepada Tuhan, melakukan pemujaan, berjapa dan melaksanakan upacara yajna/homa yajna/agni hotra”.

4.  Tapa = Pengekangan diri, pengendalian indria atau berprilaku      dengan menahan diri dari hawa nafsu yang berlebihan. Dalam hidup dan kehidupan ini dibutuhkan sebuah pengendalian diri, agar tidak terjerumus kelembah penderitaan atau agar tidak memunculkan sebuah konflik baru yang menyebabkan nilai kesucian, kebersamaan, penyatuan, keharmonisan dan pemuliaan menjadi semakin jauh. Sehingga dalam hal ini pengendalian diri sangat penting, sehingga konsep mensorgakan (kedamaian abadi) dunia ini dapat diwujudkan. Agar dapat melakukan pengendalian diri dengan baik, mari kita berpedoman kepada sastra suci, seperti yang dinyatakan dalam Lontar Jnana Tattwa, 102-103 adalah sebagai berikut:

“Nihan kang prayogasandhi, kengetakena, prayogasandhi ngaranya, upaya lwirnya, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, Tarka, Samadhi, maka pusa pusika kabeh, sandhi ngaranya”.

Terjemahannya.
“Inilah prayogasandhi, hendaknya diingat, prayogasandhi artinya Usaha, yaitu Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, Tarka, dan Samadhi, ikatan semua itu disebut sandhi”.

Sastra ini memberikan petunjuk untuk selalu melakukan Tapa dengan metode-metode/langkah seperti yang tersebut dalam Jnana Tattwa itu.

5.  Brahma = Berdoa, melantunkan kidung-kidung suci / Gita, prilaku yang selalu melantunkan doa / gita untuk      memberikan vibrasi kesucian pada diri sendiri, orang lain dan seluruh      sekalian alam. Prilaku untuk selalu melantunkan Brahma / Doa / Gita / Kirtanam / Zikir Suci penting untuk dilakukan sehingga dengan Brahma ini semakin mempertahankan nilai-nilai Satyam (kebenaran), Sivam (kesucian) dan Sundaram (keharmonisan dan estetika). Misalnya, melantunkan Kirtanam , Ma- Dharma Gita / Zikir.

6.  Yajña = Pengorbanan, prilaku      atau perbuatan nyata untuk ikhlas berkorban demi tegaknya kebenaran dan      kesucian. Hakekat dari prilaku yajna itu harus tetap yang menjadi dasar dan tujuan dari hidup dan kehidupan ini, seperti ucap sastra suci Agastya Parwa ada ditegaskan yajna adalah sesuatu prilaku untuk mencapai sorga/kedamaian dapat di wujudkan. sebagai berikut:

“Kalinganya: tiga ikan karyamuhara swarga ; tapa, yajna, kirtti….”.

Terjemahannya.
Ada tiga macam prilaku yang menyebabkan Kedamaian / Sorga, yaitu Tapa (pengendalian diri), Yajna (Pengorbanan Suci,Iklas berkarma / kerja), Kerti (kebajikan)…”.

Kutipan sastra tersebut secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tentang tiga macam perbuatan (karma) yang menyebabkan seseorang dapat menciptakan sorga di dunia, baik dalam dirinya, orang lain maupun sekalian alam. Yang mana salah satu prilaku (karma) itu adalah dengan melaksanakan Yajna. Selanjutnya yang tidak kalah penting Silakramaning dari yajna itu (etika dalam beryajna) harus diperhatikan agar yajna itu termasuk yajna yang Sattvika (yajna yang paling baik). Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, XVII.11 terurat dan tersirat sebagai berikut :

“Aphalakanksibhir yajno,
Vidhi-drsto ya ijyate,
Yastavyam eveti manah,
Samadhaya sa sattvikah”.

Artinya :
Yajna sesuai dengan petunjuk kitab-kitab suci, dilakukan dengan penuh keikhlasan, dengan keyakinan yang kuat, dilakukan yajna dengan dasar tugas dan kewajiban, ini adalah yajna yang sattvika”.

Kemudian menurut sastra suci Ketattwaning Tapini dan Rare Angon, ada beberapa hal yang harus di kendalikan (etika beryajna) dalam beryajna sbb:

“ Yan hana wong kumingkin karya hayu: (kalau ada umat manusia yang ingin melakukan/berbuat kebajikan )
·         Awya  sira pwang anglem druwya (tidak boleh tidak ikhlas).
·         Aywa Wak purusa (tidak boleh berkata kotor yang menjauhkan dari kesucian).
·         Aywa ujar apergas (tidak boleh berkata kasar yang menyebabkan disharmoni).
·         Aywa Ujar gangsul (tidak boleh berkata keras yang menyebabkan pertikaian).
·         Ujar menak pwa sira warahan (berkatalah yang baik mesti diucapkan)”.

Demikianlah bahwa apabila kita laksanakan dengan pemahaman yang baik kemudian dibarengi dengan upaya untuk mewujudkan nilai-nilai yang dikandungnya, maka prilaku-prilaku tersebut  akan menciptakan kedamaian di Bumi, dimana Hindu menyebutnya sebagai suasana yang penuh dengan Kerta Langu (tentram, indah) atau Satwam, Siwam, Sundaram. Mengapa suasana Kedamaian (Santih / Kerta Langu) ini perlu diciptakan?, Agar Pancasila Undang –Undang Dasar empat lima jaya. Dengan Jalan Apa ?..Bangkitlah semangat bekerja untuk mengabdi pada nusa dan bangsa, melalui pelaksanaan Dharma Agama dan Dharma Negara. Mengapa suasana Kedamaian (Santih / Kerta Langu) ini perlu diciptakan?, Agar Keyakinan (Sradha) jadi kuat, agar bhakti (cinta kasih, pelayanan, sujud ) tumbuh dalam hati/jiwa kita (Padma Hredaya). Dengan jalan Apa ?, Bulatkanlah persatuan dan kesatuan dalam perjuangan, untuk menegakan kejujuran, tidak diskriminasi (Satyam). Kesucian, berprilaku kesucian (Sivam). Keharmonisan, kedamaian, keindahan (Sundaram). Melalui Pelaksanaan Enam Kebajikan (Sad Dharma), yaitu :

1)     Mewacanakan Kebajikan, kebenaran, cinta kasih dan kedamaian (Dharma Wacana),
2)     Melantunkan Kebajikan dan kedamaian (Dharma Gita),
3)     Berdiskusi atau berdemokrasi tentang kebajikan dan kedamaian  (Dharma Tula),
4)     Melaksanakan Kebajikan dan kedamaian (Dharma Sadana),
5)     Melakukan Perjalanan Kebajikan dan kedamaian (Dharma Yatra),
6)     Selalu mengupayakan Perdamaian /keharmonisan (Dharma Santih).


Untuk itu dalam kehidupan ini hendaknya selalu Bhakti ( hormat, sujud, mencintai, mengasihi, ikhlas) terhadap Kedamaian/keharmonisan itu, agar  nilai Kesucian, Ketulusan, kebersamaan, Penyatuan, dan Pemuliaan dapat di pertahankan. Karena dalam Kitab Suci Bhagavadgita dinyatakan walaupun sedikit dari dharma (prilaku kejujuran/kebajikan) yang kita lakukan akan membebaskan dari cengkraman ngeri / kesengsaraan. Seperti berikut ini:
“Neha Bhikramanaso sti,
Pratyavayo na vidyate,
Svalpam apy asya dharmasya,
Trayate mahato bhayat”.

Terjemahannya.
“Dalam hal ini tidak ada usaha sia-sia, dan juga tak ada rintangan yang tak teratasi, Walau sedikit dari Kebajikan (dharma) ini akan membebaskan dari cenkraman ngeri/kesengsaraan”(Bhagavadgita,II.40).


III.  PENUTUP

Merujuk pada sekelumit uraian di atas, maka untuk membentengi diri baik secara indhividu maupun komunal dalam kehidupan beragama dan bernegara agar tidak terjerumus kepada suasana kegelapan, dibutuhkan keyakinan (sraddha) dan bhakti yang kuat dalam membumikan ataupun mengimplementasikan prinsip prinsip dasar  Tattwa, Susila, Acara yang terkandung di dalam kitab suci / sastra-sastra suci agama Hindu yang lainnya dalam aktivitas keagaaman sehari-hari, seperti pesan pesan nilai yang harus ditindaklanjuti dalam perayaan Hari-Hari Suci Kegamaan Hindu sebagai pedoman untuk menata hidup dan kehidupan ini, yang pada akhirnya akan bermuara pada hakekat sesungguhnya yaitu, bahwa umat manusia butuh keharmonisan,  keteraturan, ketertiban dan kedamaian. Didalam Ajaran Agama Hindu hal-hal yang dimaksud dikemasnya dengan sebuah tujuan hidup atau visi / misi hidup Yaitu : “Mosartam Jagadhita” kebahagian di Dunia dan Kebahagiaan di Alam Sunya (akhirat).


“Om Santih, Santih, Santih Om”.
Update, 26 Juni 2017   
Pranam-Mendrajyothi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Menarik Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...