KONSEP KEPEMIMPINAN HINDU
(Perspektif: Fungsi Sang
Yajamana, Sang Widya, dan Sang Sadaka)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kalau mencermati
kehidupan manusia memang unik adanya, keunikan ini karena menurut para
ahli budaya manusia memiliki beraneka macam status seperti; Statusnya sebagai
makhluk Religi, Indhividu, Sosial, Ekonomi, Hukum, Budaya (Cipta, Rasa dan
Karsa), Keindahan/harmonis, Butuh Pengakuan, Pekerja, Penilai,
Pembelajar, Teratur / tertib, Tidak Teratur/tidak tertib, dll. Sehingga dari
beberapa status itu manusia secara otomatis memiliki kebutuhan yang beraneka
ragam sesuai dengan kadar dari status-status yang ada dalam dirinya.
Contoh: Kalau yang lebih banyak mempengaruhi kadar status / kebutuhan akan
religi, maka prilaku orang itu kecenderungannya akan selalu menunjukkan
aktivitas religi / ritual dalam keseharinnya. Kalau yang mempengaruhi
kebutuhan akan Indhividu dan Sosial, maka kadang kala manusia ingin hidup
sendirian kadang pula ingin berkelompok, berkumpul satu sama lainnya agar dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Dan yang paling parah
apabila kebutuhan akan ketidak teraturan/ketidak tertiban yang mempengaruhi
dirinya maka aksi-reaksinya membawa dampak menjadi mahluk yang susah
diatur, susah teratur dan susah tertib. Khusus kebutuhan akan ketidak teraturan
ini jangan dibiarkan sampai pada titik klimaks yang menggiring manusia terhadap
perusakan sistem hukum apalagi sampai terjerumus pada kegelapan (timira).
Apabila fenomena yang
terjadi di zama Kali ini bahwa kecenderungan manusia aksi-reaksinya lebih
menonjolkan sebagai mahluk yang susah diatur, susah teratur dan susah tertib, lagi
pula dewasa ini tidak dapat dipungkiri juga adanya kemunduran dalam hal budaya
rokhani. Hal ini dibuktikan dengan telah bergesernya pencapaian tujuan hidup
yaitu yang awalnya dari mencari Kesenangan menuju Ketenangan, tetapi sekarang
telah bergeser dari Ketenangan menuju Kesenangan. Maka bila hal ini yang
dihadapi oleh seorang pemimpin dimasa kini dan masa yang akan datang maka kata
kuncinya adalah Pemimpin itu harus sabar, Mengapa harus sabar ?. Karena orang
sabar pasti subur, orang subur suka bersyukur, orang yang suka bersyukur tidak
takabur, orang yang tidak takabur jauh dari kubur.
Walaupun terjadi
keanekaragaman, dan keunikan kehidupan manusia itu, sejarah telah membuktikan
bahwa Agama Hindu tidak saja agama yang tertua keberadaannya di dunia ini,
melainkan juga sebagai agama yang mampu menjiwai seluruh aspek-aspek kehidupan
manusia dan melahirkan pemimpin dan kepemimpinan Hindu yang dapat menata hidup
dan kehidupan manusia di dunia ini yang aman, damai, sejahtera (kerta
langu) di masa yang lalu. Seperti tokoh-tokoh Kepemimpinan di zaman Ramayana
(Kepemimpinan Sang Dasarata, dan Sang Wibhisana). di zaman Mahabrata
(Kepemimpinan Yudistira / Dharmawangsa), di Kerajaan Magada (Kepemimpinan Maha
Rsi Kautilya / Chanakya di belahan dunia India bahkan sampai ke Asia), di
Kerajaan Majapahit (Kepemimpinan Hayam Huruk dan Maha Patih Gajah Mada dengan
sumpah amukti palapa-nya yang sempat digjaya menyatukan Nusantara dalam kurun
waktu yang lama di zamannya).
Berdasarkan uraian di
atas, bila kita berbicara tentang Kepemimpinan Hindu maka kenapa kita tidak
berguru dengan masa lalu dan berguru kepada sastra-sastra Hindu yang kita
miliki, kita sucikan dan yang kita yakini. Terutama untuk menata hidup
dan kehidupan kita sebagai orang-orang yang beragama Hindu dan disaat-saat
menyelenggarakan aktivitas-aktivitas keagamaan Hindu khususnya, dan secara umum
dapat menyumbangkan pemikiran-pemikiran kepemimpinan Hindu tentang bagaimana
manata hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara di negara RI yang kita
cintai ini dan bahkan bila perlu di dunia.
Mengapa dalam
kehidupan beragama Hindu diperlukan pemahaman tentang ajaran kepemimpinan
Hindu ? Untuk lebih jelasnya mari sama-sama merenungi uraian berikut ini:
Kata kepemimpinan
berasal dari kata dasar “pimpin” yang artinya bimbing atau tuntun. Dari kata
pimpin lahirlah kata kerja “memimpin” yang artinya membimbing atau menuntun,
dan kata benda “pemimpin” yaitu orang yang berfungsi memimpin atau menuntun
atau orang yang membimbing. Sedangkan menurut beberapa para ahli, Kepemimpinan
adalah keseluruhan aktivitas/tindakan untuk mempengaruhi, menggerakkan, serta
menggiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai sasaran atau tujuan.
Kepemimpinan memiliki berbagai macam istilah, seperti: Leadership dari kata
asing, Management dari kata ilmu administrasi, dan Nitisastra dari kata Hindu.
Nitisastra berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata Niti dan Sastra. Niti berarti
kemudi, pemimpin, politik dan sosial etik, pertimbangan, dan kebijakan.
Sedangkan Sastra berarti perintah, ajaran, nasehat, aturan, teori, dan tulisan
ilmiah. Nitisastra merupakan sumber
kepatuhan manusia sebagai hamba Tuhan terhadap hukum Tuhan (Rtam), sumber kepatuhan manusia sebagai
warga negara pada hukum dan kebijaksanaan pemerintah dari lembaga keumatan
dan negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain Nitisastra merupakan sumber kepatuhan manusia terhadap Tuhan,
Sesamanya, dan lingkungannya, serta Dharma
negaranya.
Pemimpim dan
Kepemimpinan ibarat mata uang. Dapat berfungsi bila keduanya sisinya utuh dan
saling mengisi. Bila salah satu tidak ada maka tidak dapat berfungsi
sebagaimana yang diharapkan. Untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah,
semua itu memerlukan perjuangan, pengorbanan, pembelajaran tentang hal-hal yang
berhubungan dengan pemimpin dan kepemimpinannya. Seorang pemimpin dalam
kepemimpinannya dinyatakan berfungsi untuk menggiatkan atau menggerakan
bawahannya. Fungsi menggerakan dalam hal ini adalah fungsi pembimbingan dan
pemberian pemimpin serta menggerakan orang-orang atau kelompok orang-orang itu
agar suka dan mau bekerja.
Fungsi pemimpin
adalah sangat penting. Karena bagaimanapun rapinya perencanaan yang dilakukan
oleh pemimpin serta tertibnya pengorganisasian ataupun tepatnya penempatan
orang, hal ini belum menjamin dapat bergeraknya oraganisasi ke arah sasaran
atau tujuan. Fenomena yang terjadi di sekitar kita khususnya tentang hidup,
kehidupan, dan aktivitas agama dan keberagamaan Hindu yang dijalani, dihadapi,
dan diselenggarakan baik secara indhividual (Personal) maupun secara bersama / berkelompok
(komunal) tidak jarang terjadi sebuah konflik internal (Indhividu) dan konflik
eksternal / sosial (sesama). Hal ini terjadi karena banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi. Fenomena konflik ini tentunya harus segara diatasi salah satunya
dengan sebuah pemahaman ajaran kepemimpinan Hindu untuk menata hidup, kehidupan
dan aktivitas agama serta keberagmaan Hindu yang kita jalani dan yang kita
laksanakan, tentunya dengan spirit kepemimpinan Hindu yang telah diwariskan
oleh para leluhur kita yang selalu berguru kepada Kitab Suci Veda (Sruti-Smerti) dan susastra-susastra suci Veda yang lainnya.
Berbicara tentang
Kepemimpinan Hindu sangat luas dan universal sekali seperti di antaranya:
Kepemimpinan/Nitisastra; Asta Brata, Ramayana, Mahabrata, Panca Sthiti
Dharmaning Prabu, Asta Dasa Paramiteng Prabu, Catur Kotamaning Nrpati, Catur
Naya Sandhi, Kepemimpinan Jawa Kuno, Nawa Natya, Sad Upaya Guna, Panca Upaya
Sandhi, Tri Upaya Sandhi, dll. Oleh karena itu untuk membatasi bahasan tentang
Kepemimpinan Hindu dalam tulisannya ini khusus membahas “Konsep Kepemimpinan
Hindu (Perspektif Fungsi Sang Sadaka, Sang Widya, dan Sang Yajamana)”. Hal ini
menjadi perhatian khusus karena, Pertama; Peranan, Tugas Pokok dan Fungsi
(TUPOKSI) dari ketiga komponen dalam pelaksanaan yadnya yang diistilahkan
dengan Tri Manggalaning yadnya (Sang Yajamana, Sang Widya, Sang Sadaka)
sangat menentukan suksesnya aktivitas keagamaan / yadnya yang dilaksanakan baik
dalam beragama Indhividu (personal) lebih-lebih dalam beragama kebersamaan
(komunal). Kedua; Terjadinya konflik-konflik disaat terlaksananya
aktivitas-aktivitas keagamaan dalam kontek beragama kebersamaan (Komunal) salah
satunya adalah karena kurangnya integrasi, bersinergi, kesungguhan, ketulusan
dan kurangnya pemahaman secara menyeluruh (komprehensip) dari komponen Tri Manggalaning Yadnya, yaitu Sang Yajamana (Pelaku Yadnya), Sang Widya (Orang yang memiliki
pengetahuan dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan manajemen yadnya) dan Sang Sadaka (Orang yang
memimpin/menyelesaikan yadnya).
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, timbul ketertarikan untuk membahas dan menjadikan bahan
renungan tentang Konsep Kepemimpinan Hindu Perspektif Fungsi Sang Yajamana, Sang Widya dan Sang Sadaka
dalam Kehidupan umat Hindu maupun sistem Lembaga agama dan keberagmaan
Hindu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di
atas maka permasalahannya yang dapat dirumuskan dan akan dipecahkan
dalam tulisan ini sebagai berikut:
Ø Bagaimanakah Konsep
Kepemimpinan Hindu Persfektif ; Fungsi Sang Yajamana, Sang Widya dan Sang
Sadaka ?
II. PEMBAHASAN
Berdasarkan uraian
pendahuluan dan rumusan masalah di atas, berikut ini akan dideskripsikan secara
singkat tentang hal-hal yang menjadi rumusan masalah tersebut yaitu:
Menurut Kamus Bahasa
Indonesia secara garis besar “Konsep” adalah rancangan, ide atau pengertian,
dan proses. Sedangkan “Perspektif” adalah sudut pandang atau pandangan. Kepemimpinan
dalam Hindu disebut dengan istilah Nitisastra. Nitisastra berasal dari bahasa
Sansekerta, dari kata Niti dan Sastra. Niti berarti kemudi, pemimpin, politik
dan sosial etik, pertimbangan, dan kebijakan. Sedangkan Sastra berarti
perintah, ajaran, nasehat, aturan, teori, dan tulisan ilmiah. Nitisastra
merupakan sumber kepatuhan manusia sebagai hamba Tuhan terhadap hukum Tuhan
(Rtam), sumber kepatuhan manusia sebagai warga negara pada hukum dan
kebijaksanaan pemerintah dari lembaga keumatan dan negara yang bersangkutan.
Atau dengan kata lain Nitisastra merupakan sumber kepatuhan manusia terhadap
Tuhan, Sesamanya, dan lingkungannya, serta Dharma negaranya. Nitisastra ini
secara sederhana dapat dikatakan bahwa, Nitisastra bukan hanya diperlukan
tetapi juga dapat dipergunakan oleh pemimpin suatu Negara, oleh pemerintah atau
pengambil kebijakan dalam kelembagaan umat Hindu serta dapat juga diamalkan
oleh semua umat manusia pada umumnya dan khususnya oleh umat Hindu sesuai
dengan Varna Dharma-nya. Nitisastra dapat juga dipergunakan untuk membuat
rumusan kembali, mengakulturasikan suatu konsep dengan konsep yang lain
sehingga memperoleh suatu konsepsi baru (pemikiran beragama, berorganisasi dan
bernegara yang bersifat pembaharuan, dinamis, relevan dan mengikuti
perkembangan zaman atau kekinian/anutana) dan mengantarkan untuk berpandangan
jauh kedepan. Nitisastra ini sangat dibutuhkan dan dapat dijadikan pedoman oleh
umat Hindu, pemimpin / pemerintah/pengambil kebijakan dalam kelembagaan umat
Hindu serta untuk menata hidup dan kehidupan umat beragama Hindu dalam
kewajibannya (swadharma) terhadap kepatuhan dengan Dharma Agama-nya.
Selain ajaran
Kepemimpinan / Nitisastra maka perlu adanya seseorang pemimpin yang dapat
mengaktualisasikan ajaran Nitisastra ini. Karena Pemimpim dan Kepemimpinan
ibarat mata uang. Dapat berfungsi bila keduanya sisinya utuh dan saling
mengisi. Bila salah satu tidak ada maka tidak dapat berfungsi sebagaimana yang
diharapkan. Untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah, semua itu memerlukan
perjuangan, pengorbanan, pembelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan
pemimpin dan kepemimpinannya. Seorang pemimpin dalam kepemimpinannya dinyatakan
berfungsi untuk menggiatkan atau menggerakan bawahannya. Fungsi menggerakan
dalam hal ini adalah fungsi pembimbingan dan pemberian pemimpin serta
menggerakan orang-orang atau kelompok orang-orang itu agar suka dan mau
bekerja. Fungsi pemimpin adalah sangat penting. Karena bagaimanapun rapinya
perencanaan yang dilakukan oleh pemimpin serta tertibnya pengorganisasian
ataupun tepatnya penempatan orang, hal ini belum menjamin dapat bergeraknya
oraganisasi ke arah sasaran atau tujuan.
Kemudian dalam
kehidupan dan aktivitas keagamaan umat Hindu, ada tiga unsur / komponen
utama yang berperanan dalam pelaksanaannya yaitu yang disebut Tri Manggalaning Yadnya, sebagai berikut
:
a.
Sang Yajamana, adalah Sang Manggala/pemimpin yang wilayah
kerjanya berorientasi kepada Bhakti dan Karma.
b.
Sang Pancagra atau Sang Widya, adalah Sang Manggala/pemimpin yang wilayah kerjanya berorientasi
kepada Karma dan Jnana yoga.
c.
Sang Sadhaka, adalah Sang Manggala/pemimpin yang wilayah
kerjanya berorientasi kepada Jnana dan Raja yoga.
Berdasarkan uraian di
atas, dapat diartikan bahwa “Konsep Kepemimpinan Hindu Perspektif Fungsi Sang Yajamana, Sang Widya, dan Sang Sadaka”
adalah rancangan, ide atau pengertian, dan proses kepemimpinan Hindu dari sudut
pandang fungsi atau Tupoksi dari masing-masing unsur / komponen Tri Manggalaning Yadnya.
Secara umum tentang
Pemimpin, Kepemimpinan dan Fungsi Pemimpin telah di uraikan secara singkat.
Berdasarkan uraian itu, bila dikaitkan dengan fenomena sebuah
aktivitas-aktivitas keagamaan / Yadnya di tengah-tengah kehidupan umat Hindu
baik secara Indhividu (persona)l maupun dalam kebersamaan, kelembagaan
umat (komunal) tidak sedikit yang masih belum memahami tentang apa itu
pemimpin, kepemimpinan, dan fungsi pemimpin dan kepemimpinan itu, tidak sedikit
pula orang sudah memahami tetapi belum atau tidak mau untuk
mengaktualisasikannya, bahkan yang paling parah adalah sudah memahami tetapi
malah mengabaikan dan justru mencari-cari kesalahan untuk merusak sistem yang
telah disepakati. Tentunya untuk yang satu ini jangan dibiarkan mencapai
titik klimaks yang dapat mengahancurkan kebersamaan kita dalam membangun Hindu
yang lebih besar dan berkualitas dalam kontek beragama kebersamaan. Oleh karena
itu mari kita sebagai umat Hindu terutama bagi orang-orang yang ingin merusak
sistem atau tatanan kebersamaan dalam keberagamaan Hindu agar tidak menuju
jurang kegelapan (timira) mari kita
cerahi jiwa dan pikiran kita dan berguru terhadap ucap sastra suci Veda sebagai
berikut:
“Orang bodoh dapat diajari dengan mudah, orang
berpengetahuan paham dengan hanya sedikit diberi petunjuk, sedangkan orang yang
memiliki sedikit ilmu pengetahuan merasa dirinya paling pandai, Dewa Brahma
sekalipun tidak dapat mengajarinya” (Niti Sataka, 2).
“…Busana Keberanian adalah lidah yang terkendali, Busana
Pengetahuan adalah kedamaian, Busana kepandaian adalah kerendahan hati, …,
Busana Kebesaran adalah memaafkan,…” (Niti Sataka, 80).
Pemikiran-pemikiran
atau Konsep Kepemimpinan Hindu Perspektif Fungsi Sang Yajamana, Sang Widya, dan Sang
Sadaka, harus didasari oleh dasar keimanan yang berdasarkan kitab suci
Veda. Berikut ini beberapa sumber-sumber sastra suci Veda yang ada yang
berhasil di pupul dan disertai beberapa analogi dari penulis.
Beberapa petikan
Mantra/Sloka yang dapat dipedomani adalah sebabagai berikut:
Brhad Aranyaka Upanisad, Mandala I. Sukta 3. Mantra 28
“Om Asato masat gamaya,
Tamaso ma jyotir gamaya,
Mrtyor ma amrtam gamaya”
Terjemahan:
“Ya Tuhan Bimbinglah
kami dari ketidak benaran menuju kebenaran yang sejati, Bimbinglah kami dari
kegelapan menuju jalan yang terang benderang, Bimbinglah kami dari kematian
Rohani menuju kehidupan yang kekal abadi”.
Mantra upanisad ini,
merupakan sebuah pengakuan dan pernyataan diri dari umat manusia kehadapan
Tuhan, bahwa sebenarnya manusia tidak mampu memimpin, membimbing / menuntun dirinya
secara sempurna baik jasmani maupun rohaninya. Bermula dari sebuah kesadaran
diri itulah manusia memohon bimbingan / tuntunan kepada Tuhan. Pertama; memohon
bimbingan agar mendapat dorongan rohani untuk terus menuju kebenaran yang
sejati (Sat) dan menjauhi ketidak
benaran (Asat). Kedua; memohon
bimbingan dari kegelapan (Tamas)
menuju jalan yang terang (Jyoti).
Jalan yang terang itu adalah jalan yang menuju kehidupan yang bahagia dengan
landasan Widya Dharma (ilmu
pengetahuan tentang dharma). Ketiga; memohon bimbingan agar mendapat kekuatan
rohani untuk mengubah kematian (kesengsaraan) menuju kehidupan yang kekal
abadi. Mantra ini juga memberikan inspirasi bagaimana memimpin diri dan orang
lain untuk menjalani dinamika kehidupan dengan berlandaskan kedamaian untuk
membuahkan hasil kebahagiaan yaitu Jagadhita
dan Moksa.
Canakya Nitisastra,
Adhyaya V. Sloka 1:
” Guru Agnir Dvijatinam,
Varnanam Brahmana Guruh,
Patireva Guruh Strinam,
Sarvasya Bhayagato Guruh”.
Terjemahan.
“Dewa Agni adalah
Guru bagi para Dwijati (Sang Sadaka), Varna Brahmana adalah Guru
bagi Varna Ksatria, Waisya dan Sudra, Guru bagi seorang istri adalah
suami, dan seorang tamu adalah Guru bagi semuanya”.
Sloka Canakya
Nitisastra ini merupakan sebuah pedoman bagaimana etika berguru, ajaran bhakti,
sehingga terjadi sebuah tatanan kehidupan yang harmonis, etika sosial
dengan saling menghargai satu sama yang lain dan oleh Catur Varna bukan justru dijadikan sebagai stratifikasi sosial
untuk mempertahankan status Co. Tetapi intisari pesan dari Sloka ini adalah ada
pada baris pertama dan terakhir bahwa sesungguhnya semua harus berguru kepada
Agni (Tuhan) dan semua harus berguru kepada Tamu. Kata Tamu ini adalah spirit
yang ada diluar diri manusia, siapa spirit itu ? yaitu seluruh sekalian alam (Tuhan).
Etika sosial untuk
saling menghargai satu sama yang lain, tentang kewajiban-kewajiban agama yang
sifatnya wajib dilakukan bagi keempat varna
dharma juga tersurat dan tersirat di dalam Kitab Parasara Dharmasastra
adalah sebuah Kitab yang diyakini sebagai kitab Suci Veda Smerti di Zaman Kali (Parasara
Dharmasastra, Adhyayah I dan Adhyayah II).
Bhagavadgita, IV.13
dan XVIII.41 :
“Catur varnyam maya shristam,
Guna karma vibhagasah,
Tasya kartaram api mam,
Viddhy akartaram avyayam”.
Terjemahannya.
“Catur Varna adalah
ciptaan-Ku menurut pembagian Bakat dan Kerja, tetapi ketahuilah walaupun
penciptanya Aku, Aku tidak berbuat dan merubah diri-Ku”.
(Bhagavadgita, IV.13)
“Brahmana kshatriyabvisayam,
Sudranam cha paramtapa,
Karmani pravibhaktani,
Svabhawaprabhavair gunaih”.
Terjemahannya.
“Di antara kaum
Brahmana, Ksatria, Vaisya, dan Sudra Oh Parantapa, kegiatan kewajiban
dibeda-bedakan menurut guna terlahir dari sifat-sifat mereka”.
Berdasarkan Sloka di
atas, Pengertian varna adalah empat tatanan masyarakat yang disesuaikan dengan
kewajiban-kewajiban mereka yang spesifik, sesuai dengan Guna (sifat-sifat yang
mendominasi) dan Karma (Kegiatan kerja yang cenderung dilakukannya), dan bukan
ditentukan oleh asal keturunannya.
Sesuai dengan Konsep Varna Dharma ini, maka jika dikaitkan
dengan Tri Manggalaning Yadnya dalam
penyelenggaraan yadnya tidak akan mencapai hasil yang diharapkan apabila
penggarapannya tidak memperhatikan varna
dharma, artinya penyelenggaraan upacara tersebut harus dikerjakan oleh
orang-orang yang memiliki keahlian dan Tupoksi yang sesuai pada
bidangnya. Digelarnya aktivitas keagamaan ini dibutuhkan komunikasi dan
kerjasama yang kondusif di antara umat yang bersangkutan dan umat yang
lain, karena umat yang menggelar yadnya wajib menyadari diri, keahlian,
ketrampilan (guna), dan Tupoksi apa
yang dimiliki serta yang dapat dilakukan demi suksesnya aktivitas keagamaan.
Pertama; bagi Umat yang duduk dikelompok Varna Brahmana (Sang Sadaka), memiliki bakat dan Tupoksi
di bidang kerohanian, penasehat, dan Fattwa (Bisama). Kedua; kelompok Ksatria
Varna (Sang Widya) memiliki bakat (Guna) dan Tupoksi di bidang
kepemimpinan, keahlian, pengendalian, pengambil kebijakan, sesuai struktur yang
ada. Selanjutnya yang ketiga; Varna Wesya dan Sudra (Sang Yajamana) memiliki bakat (guna)
dan Tupoksi di bidang penyediaan logistik yadnya, Seksi-seksi, tenaga
operasional kegiatan, dan pelaku yadnya (Panitia yadnya dan seluruh umat).
Apabila kempat
kelompok dari Varna Dharma yang dikemas kedalam Tri Manggalaning Yadnya ini bersinergi maka harapan untuk mencapai
sebuah aktivitas keagamaan yang Dharma
Sidhiartha akan dapat terwujud.
Atharva Veda, Mandala
XII, Sukta 1, Mantra 1 :
“Satyam brhad rtam ugram diksa, tapo, brahma, yajna
prthivim dharayanti”.
Terjemahannya.
“Sesungguhnya
kebenaran/Kejujuran/Kebajikan (satya), hukum (rta), inisiasi/penyucian (diksa),
pengendalian indria (tapa), Kirthanam/pujian/Gita/doa (brahma), pengorbanan,
homa yadnya atau Agni Hotra (yajna) adalah yang menyangga Bumi”.
Mantra Atharva Veda
ini adalah dasar keimanan umat Hindu, dasar keimanan inilah yang harus di
perbuat oleh umat manusia di dunia untuk menciptakan Jagadhita dalam kontek beragama duniawi, dalam kontek beragama
spiritual / rohani umat manusia juga harus melaksanakan dasar keimanan Atharva
Veda ini bila manusia ingin keluar dari penderitaan kelahiran kembali (punarbhawa) untuk menuju sebuah
pendakian spiritual untuk menyatu dengan Brahman. Mantra ini juga memberikan
inspirasi bagaimana memimpin diri dan orang lain untuk menjalani dinamika
kehidupan dengan berlandaskan dasar keimanan ini untuk membuahkan hasil
kebahagiaan yaitu Jagadhita dan Moksa.
Sastra Suci Agastya
Parwa :
“Kalinganya: Tiga ikan karyamuhara swarga: Tapa, yadnya,
Kirtti,… Lewih tekan tapa saken yajna, lewih tekan yadnya saken kirtti, ikan
tigan siki prawertti kadharma ngaran ika, kunan ikan yoga yeka
nirwrtti-kadharma ngaranya”
Terjemahannya.
“Ada tiga macam yang
menyebabkan sorga, yaitu Tapa, Yadnya,
Kirtti,… adapun keutamaan dari pada tapa atau pengendalian diri munculnya
atau tumbuhnya dari yadnya atau persembahan atau pemujaan, sedangkan keutamaan
dari pada yadnya atau persembahan/pemujaan munculnya dari kirtti atau kerja / pengabdian,
demikianlah ketiganya itu disatukan yang disebut prawertti-kadharma, tetapi
mengenai ajaran Yoga itu disebut dengan nirwrtti-kadharma“.
Kutipan Sloka
tersebut secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tentang tiga macam perbuatan
(karma) yang menyebabkan seseorang dapat menciptakan sorga di dunia, baik dalam
dirinya, orang lain maupun seluruh sekalian alam (Bhuana Agung), ketiga perbuatan itu disebut Prawertti Kadharma, yaitu Tapa,
Yadnya, Kirtti. Prawertti Kadharma
ini gerakannya atau arahnya eksternalisasi, artinya memiliki putaran keluar
dengan menempatkan Bhuana Agung sebagai
objek kajian, yang dimaksud disini adalah bagaimana seorang pemimpin secara
eksternalisasi berusaha menciptakan jagadhita, untuk membangun peradaban
manusia lain (divine society),
lingkungan sekitar dan seluruh sekalian alam (divine ekosistem). Sedangkan Nirwrtti kadharma gerakannya atau
arahnya internalisasi, artinya memiliki putaran kedalam dengan menempatkan Bhuana Alit sebagai objek kajian. Yang
dimaksud disini adalah bagaimana seorang pemimpin secara internalisasi berusaha
untuk mengintospeksi diri (mulat sarira) atau dalam bahasa yang lain adalah
mayoga artinya melakukan sebuah perenungan untuk membangun jiwa yang stabil.
Katha Upanisad,
Mandala I, Sukta 3, Mantra 3 :
“Atmanam rathinam viddhi, sariram ratham eva tu,
Buddhim tu sarathim viddhi manah pragraham eva ca,
Indriani hayan ahur visayam tesu gicaran,
Atmendrye mano yuktam bhokteti ahur manisinam”.
Terjemahannya.
“Kethuilah Atman adalah sebagai tuannya, badan
jasmani adalah badan kereta. Ketahuilah bahwa budhi itu adalah kusirnya kereta
sedangkan pikiran adalah tali kekang. Indria adalah disebut kudanya kereta,
sasaran indria adalah jalan. Atman dihubungkan dengan badan, indria dan
pikiran. Ialah yang menikmati. Demikian orang-orang menyebutkan”.
Mantra Katha Upanisad
ini secara sederhana dapat dijelaskan bahwa Pengandaian tentang keberadaan
manusia itu sendiri. Bahwa agama Hindu memandang manusia itu secara utuh, yaitu
tidak melihat manusia dari sudut pandang rohani semata. Manusia harus
digerakkan secara utuh dengan segala totalitasnya. Seperti pengandaian manusia
sebagai sebuah kereta, badan raga diandaikan badan kereta, kuda yang menarik
kereta diandaikan indria, tali kekang kuda ibarat pikiran, kusir kereta ibarat
budhi, pemilik kereta adalah Atman. Kereta akan dapat berjalan dengan baik
kearah tujuan apabila semua unsur kereta tersebut dalam keadaan baik. Keadaan
baik artinya semua unsur kereta tersebut dalam keadaan baik. Keadaan baik
artinya semua unsur mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Mantra ini juga
memberikan inspirasi bagaimana memimpin, membimbing dan membangun diri dan
orang lain secara utuh dalam kehidupan beragama individual dan kebersamaan.
Sastra suci Veda,
Kakawin Ramayana, Adhyaya I, Sloka 3 :
“Gunamanta Sang Dasaratha, Wruh sira ring Veda, Bhakti
ring Deva tan marlupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh”.
Terjemahannya.
“Bahwa Raja
Dasaratha, adalah seorang pemimpin yang memahami pengetahuan suci Veda, taat
beragama, Bhakti kepada Tuhan dan tidak melupakan
leluhur/pendahulu-pendahulunya, serta adil dan mengasihi seluruh rakyat, umat,
bawahan, dan keluarganya.
Kakawin Ramayana ini
memberikan pesan kepada seseorang yang memposisikan dirinya sebagai pemimpin
dan menjalakan kepemimpinannya harus menjadikan Sang Dasaratha sebagai panutan.
Mengutip terjemahan
beberapa sumber-sumber Mantra / Sloka di atas, tersurat dan tersirat sebuah
Konsep Kepemimpinan Hindu Perspektif Fungsi Sang
Yajamana, Sang Widya dan Sang Sadaka.Bila
dicermati berdasarkan bentuknya secara garis besar Fungsi Tri Manggalaning Yadnya di bagi menjadi dua jenis yaitu Fungsi Tri Manggalaning Yadnya berdasarkan
Komponen Pelaksanaan Upacara / Upakara keagamaan, dan Fungsi Tri Manggalaning Yadnya berdasarkan komponen
/ struktur Kelembagaan Umat, baik dalam putaran ke luar/ke-jaba (eksternalisasi) maupun dalam
putaran ke dalam / ke-jero (internalisasi)
yaitu sbb:
1.
Fungsi
Tri Manggalaning Yadnya berdasarkan
Komponen Pelaksanaan Upacara/Upakara keagamaan.
1)
Sang Sadaka adalah Sang Manggala/pemimpin yang wilayah
kerjanya berorientasi kepada Jnana dan Raja yoga, dengan TUPOKSI-nya sbb:
a)
Sang
Sadaka harus berguru kepada Agni (Tuhan).
b)
Sang
Sadaka melaksanakan kebenaran / Kejujuran / Kebajikan (satya), hukum (rta),
inisiasi / penyucian (diksa), pengendalian indria (tapa), Kirthanam / pujian / Gita
/ doa (brahma), pengorbanan, homa yadnya atau Agni Hotra (yajna).
c)
Sang
Sadaka adalah Pemimpin dari Tri Varna
yang lainnya dalam kontek Catur Varna.
d)
Sang Sadaka adalah Pemimpin
dari Sang Widya dan Sang Yajamana secara hirarki / vertikal /
Top-down dalam kontek menyelesaikan ritual, menuntun umat, meramu dan
menghidangkan hidangan spiritual / rohani (Sanghyang
Rama Desa dan Rare Angon) kepada
umat.
e) Secara horizontal
dalam kontek material ritual / jasmaniah harus bersinergi untuk secara
bersama-sama dengan Sang Widya, dan Sang Yajamana dan umat secara umum
menyukseskan pelaksanaan yadnya dan sebagai Duta
Dharma.
2)
Sang Widya, adalah Sang Manggala /pemimpin yang wilayah
kerjanya berorientasi kepada Karma dan Jnana, dengan Tupoksi-nya sbb:
a)
Sang Widya harus berguru kepada
Agni melalui sastra Suci-Nya (Sanghyang Aji Saraswati), mohon
tuntunan, dan keselamatan serta perlindungan kepada Agni (Tuhan).
b)
Sang Widya hendak berguru
(minta petujuk, belajar, hormat) kepada Sang
Sadaka (Sang Dwijati).
c)
Sang Widya adalah seseorang
yang memiliki pengetahuan dan orang yang memiliki kewenangan untuk mengatur,
membuat upakara yadnya ( Sang Tapini
bersama Sarati banten ), dan orang
yang berpengetahuan, memiliki kewenangan memimpin, mengatur, mengarahkan ( Penyarikan
) dan pengambilan sebuah kebijakan untuk suksesnya sebuah yadnya
serta juga sebagai Duta Dharma ( Misalnya: Ketua PHDI, Kelian Adat ).
3)
Sang Yajamana, adalah Sang Manggala / pemimpin yang wilayah
kerjanya berorientasi kepada Bhakti dan Karma, dengan TUPOKSI-nya sbb:
a)
Sang Yajamana harus berguru kepada
Agni melalui sastra suci-Nya (Sanghyang Aji Saraswati), mohon
tuntunan, dan keselamatan serta perlindungan kepada Agni (Tuhan).
b)
Sang Yajamana hendaknya berguru
(minta petujuk, belajar, hormat) kepada Sang
Sadaka (Sang Dwijati) dan Sang Widya.
c)
Sang
Yajamana adalah seseorang yang memiliki pengetahuan dan pelaku yadnya yang
dipilih berdasarkan musyawarah mufakat untuk menjadi pemimpin atau panitia
penyelenggara yadnya untuk mengkordinir pelaksanaan upacara / upakara yadnya
dengan memperdayakan umat sedharma sebagai pekerja / pelaku, tenaga operasional
untuk menyukseskan sebuah pelaksanaan yadnya yang direncanakan.
d)
Sang Yajamana hendaknya dengan
rasa bhakti dan ketulusannya sebagai pelaku yadnya.
2.
Fungsi
Tri Manggalaning Yadnya berdasarkan Komponen/struktur Kelembagaan Umat.
Contoh: Majelis Umat Hindu PHDI
1)
Sang Sadaka adalah Sang Manggala / pemimpin yang wilayah
kerjanya berorientasi kepada Jnana dan Raja yoga, dengan TUPOKSI-nya sbb:
a.
Sang
Sadaka harus berguru kepada Agni (Tuhan).
b.
Sang
Sadaka melaksanakan kebenaran/Kejujuran/Kebajikan (satya), hukum (rta),
inisiasi / penyucian (diksa), pengendalian
indria (tapa), Kirthanam/pujian / Gita
/ doa (brahma), pengorbanan,
homa yadnya atau Agni Hotra (yajna).
c.
Sang Sadaka adalah Pemimpin dari
Tri Varna yang lainnya dalam kontek Catur Varna.
d.
Sang Sadaka adalah Pemimpin,
penasehat dari Sang Widya dan Sang Yajamana secara hirarki / vertikal
dalam kontek Bisama / Fatwa Pendidikan (Tattwa,
Susila, Acara), Hukum, Sosial, ritual, dan spritual / rohani.
e.
Secara
horizontal dalam upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas umat Hindu melalui
pembinaan harus bersinergi dengan Sang
Widya dan Sang Yajamana untuk
secara bersama-sama membangun Hindu.
2)
Sang Widya, adalah Sang Manggala / pemimpin yang wilayah
kerjanya berorientasi kepada Karma dan Jnana, dengan Tupoksi-nya sbb:
a.
Sang Widya harus berguru kepada
Agni melalui sastra suci-Nya (Sanghyang
Aji Saraswati), mohon tuntunan, dan keselamatan serta perlindungan kepada Agni (Tuhan).
b.
Sang
Widya hendak berguru (minta petujuk, belajar, hormat) kepada Sang Sadaka (Sang Dwijati).
c.
Sang Widya adalah seseorang
yang memiliki pengetahuan dan orang yang memiliki kewenangan untuk memiliki
kewenangan memimpin, mengatur, mengarahkan (Penyarikan), Duta Dharma dan
pengambilan sebuah kebijakan yang dipilih berdasarkan musyawarah mufakat untuk
menjadi pemimpin atau pengurus harian, untuk menata kehidupan keberagamaan
Hindu secara menyeluruh dan merumuskan/mengkaji aspek-aspek ajaran Agama Hindu
yang berdasarkan Sumber-sumber Hukum Hindu.
3)
Sang Yajamana, adalah Sang Manggala / pemimpin yang wilayah
kerjanya berorientasi kepada Bhakti dan Karma, dengan Tupoksi-nya sbb:
a.
Sang Yajamana harus berguru kepada
Agni melalui sastra suci-Nya (Sanghyang Aji Saraswati), mohon
tuntunan, dan keselamatan serta perlindungan kepada Agni (Tuhan).
b.
Sang Yajamana hendaknya berguru
(minta petujuk, belajar, hormat) kepada Sang
Sadaka (Sang Dwijati) dan Sang Widya.
c. Sang Yajamana adalah seluruh umat sedharma yang dengan
rasa bhaktinya sebagai umat yang siap diberdayakan dan sebagai pelaku untuk
membangun Hindu. Sehingga dalam hal ini prinsip yang harus ditumbuhkan dalam
diri umat sedharma adalah bahwa semua Konsep / sistem/tatanan itu dibuat dari
umat, oleh umat dan untuk umat. Dengan tujuan yaitu tercapainya “Moksartam Jagadhita ya ca iti dharma”.
Mengorganisasikan
umat Hindu ke dalam Tri Manggalaning
Yadnya dalam kontek beragama kebersamaan dan kelembagaan umat Hindu serta
untuk mengupayakan mengeleminir potensi konflik dan usaha meningkatkan
kuantitas dan kualitas hidup, kehidupan umat Hindu dalam kontek beragama
kebersamaan (komunal) dan kelembagaan umat Hindu. Demikian pula Peranan, Tugas
Pokok dan Fungsi Tri Manggalaning
Yadnya untuk mengupayakan agar dalam usaha meningkatkan
kuantitas dan kualitas Hidup, Kehidupan umat Hindu dalam Kontek beragama
Indhividu (personal) dan sebagai warga masyrakat adalah merupakan target yang
hendak kita wujudkan dengan bersinergi secara utuh dan meyeluruh melalui
langkah-langkah yang konkrit dan mengantarkan terhadap perkembangan dan
kemajuan umat.
Banyak sastra suci
Veda yang dapat dipedomani untuk mencapai target keberagamaan Hindu seperti
yang telah diuraikan diatas yaitu setiap komponen Tri Manggalaning Yadnya
selalu menumbuhkan rasa bhakti (hormat, mengasihi, menyayangi, penyucian,
pemuliaan dan penyatuan) terhadap dirinya dan diluar dirinya, seperti apa yang
tersirat dan tersurat dalam Kitab Suci Veda yaitu Bhagvadgita, IX.27 sebagai
berikut :
“Yat karosi yad asnasi,
Yaj juhosi dadasiyat,
Yat tapasyasi kaunteya,
Tat kurusva madharpanam”
Artinya :
“Apapun yang engkau
kerjakan, engkau makan, engkau persembahkan, engkau dermakan, dan disiplin
apapun engkau laksanakan, lakukanlah wahai manusia sebagai Bhakti kepada-Ku”.
Selain berpedoman
kepada ucap kitap suci Bhagavadgita tadi, dalam kitab Bhagavata Purana,
VII.5.23 menyebutkan 9 (sembilan) cara berbhakti yang disebut Nawa Vida Bhakti
secara Vertikal antara manusia dengan Tuhannya, dan secara Horizontal antara
manusia dengan sesamanya dan lingkungannya. Dinyatakan dalam Mantra/Sloka
sebagai berikut :
“Srawanam kirtanam Visnuh,
Smaranam padasevanam,
Arcanam wandanam dasyam,
Sakyam atmanivedanam”.
Makna Sloka tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Sravanam.
Sravanam
adalah Bhakti dengan jalan mendengar. Arah secara vertikal dari bhakti
mendengar ini adalah dalam hal ini manusia hendaknya meyakini dan mendengarkan
sabda-sabda suci dari Tuhan baik yang tersurat maupun tersirat dalam kitab suci
Veda yang dijabarkan di dalam sumber-sumber hukum Hindu yaitu; Sruti (Wahyu
Langsung dari Tuhan), Smerti (Mantra/Sloka suci berdasarkan ingatan para Maha
Rsi), Sila (prilaku atau kebiasaan suci dari orang-orang suci/Rsi), Acara
(tradisi yang telah berlangsung secara turun-temurun) dan Atmanastuti
(keseimbangan bhatin jiwa). Tetapi penomena arah secara vertikal dari bhkati
mendengar yang kita jumpai di tengah-tengah kehidupan kita, tidak sedikit
manusia yang tidak mau mendengarkan sabda-sabda suci itu, kenyataan ini
diperkuat apabila ada orang yang mewartakan ajaran tentang kebajikan, kebenaran,
kesucian, dll tentang sabda suci Tuhan justru yang terjadi malah ketidak
pedulian, pelecehan, atau dengan kata lain respon yang muncul menunjukan
kekurang tertarikan akan pewartaan itu. Contoh kecil saja di sebagian banyak
orang tidak mau mendengar atau bahkan mengantuk apabila ada ceramah-ceramah
agama (Dharma Wacana) baik itu di tempat-tempat suci atau pewartaan melalui
media cetak yang lain. Tetapi kalau ada pewartaan/tayangan sinetron tentang
gosip, fitnah, kekerasan, diskriminasi, dll justru menjadi sebuah konsumsi
bagaikan seorang pecandu.
Selanjutnya
arah secara horizontal, bhakti mendengar ini hendaknya manusia dalam hidup dan
kehidupannya mau mendengarkan pewartaan tentang sesamanya, dan lingkungannya.
Tetapi penomena yang sering terjadi tidak sedikit juga orang yang tidak peduli
akan berita-berita tentang teragedi kemanusiaan dan kerusakan lingkungan.
Padahal dalam hidup ini untuk mewujudkan cita-cita atau visi/misi hidup
hendaknya dimulai dengan adanya kemauan dan kesadaran untuk mendengar, dari
konsep dasar yang dimliki dari hasil mendengar inilah kemudian tindaklanjuti
dengan berupaya untuk berbuat atau mencari solusi yang terbaik apabila kita
mengambil sebuah tindakan akan kemanusiaan/sesama dan lingkungan. Contoh; antar
sesama, mestinya kita mau mendengar apa yang diwacanakan orang lain, sikap ini
adalah sebuah sikap insklusif yaitu sebuah sikap yang mau mendengarkan
kebenaran dari orang lain, karena dalam diri ada kebenaran tetapi diluar diri
juga masih banyak kebenaran yang belum kita ketahui. Untuk itu pesan yang ingin
disampaikan melalui bhakti dengan jalan mendengar ini adalah mari dalam hidup
ini kita selalu berupaya untuk membudayakan untuk mendengar, baik mendengar
secara vertical maupun secara horizontal. Karena menurut ajaran Agama Hindu
baik mendengar (berguru) ataupun memberi pendengaran/pewartaan (menggurui)
apabila sama-sama dilandasi dengan rasa bhakti maka semua akan mendapat hasil
(pahala) atau paling tidak dapat manfaat dari bhakti mendegar ini. Iklim saling
bhakti mendengar ini sangat dibutuhkan oleh Tri Manggalaning Yandnya.
2.
Kirtanam.
Kirtanam
adalah Bhakti dengan jalan Melantunkan Gita(Nyayian atau Kidung suci) /Zikir.
Bhakti ini juga di arahkan menjadi dua arah baik secara vertical maupun secara
horizontal. Arah vertical mari kita lakukan kirtanam untuk menumbuhkan dan
membangkitkan nilai-nilai spiritual yang ada dalam jiwa kita, dengan jiwa
spirituallah kita akan keluar dari pertikaian, kegelapan untuk menuju
perdamaian dan kebahagiaan yang abadi. Arah horizontal mari kita berusaha untuk
melantunkan kirtanam yang dapat menyejukan orang lain dan lingkungan kita.
Kepada sesama mari kita tidak hanya melantunkan kritikan/cemohan tapi berilah
saran/solusi yang terbaik bagi kepentingan bersama dalam perdamaian,
keberagamaan, dan kemanusiaan, bila perlu berilah pujian dan pengakuan akan
keberhasilan dan prestasi yang telah dicapai. selanjutnya kepada linkungan mari
kita ikuti jejak Ebit G. Ade untuk melantunkan kirtanam kepada alam sekitar
kita. Bagaimana caranya ? kata Ebit, mari kita tanyakan kepada rumput
yang bergoyang. Iklim saling bhakti Kirthanam ini sangat dibutuhkan oleh Tri
Manggalaning Yandnya.
3. Smaranam.
Smaranam
adalah Bhakti dengan jalan Mengingat. Arah vertical mari dalam menjalani dan
menata kehidupan ini kita selalu untuk mengingat, mengingat tentang
intruksi/pesan yang disampaikan oleh Tuhan kepada umat manusia, yang bisa
dijadikan sebagai pedoman atau pegangan hidup dalam hidup di dunia dan di alam
sunya (akhirat) nanti. Arah secara horizontal apabila dikaitkan dengan isu-isu
perdamaian, demokrasi dan Gender maka mari kita berusaha untuk mengingat
kembali musibah, penderitaan, bencana, dll. yang diakibatkan oleh
konflik-konflik/pertikaian, kesewenang-wenangan dan diskriminasi antara satu
dengan yang lain ataupun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain
yang tidak/kurang memahami dan menghargai indahnya sebuah
kebhinekaan/pluralisme. Harapannya dengan mengingat tragedi-tragedi itu maka
mari kita selalu mewartakan akan indahnya kebhinekaan/pluralisme apabila kita
kemas dalam satu bingkai yaitu bingkai persatuan, kedamaian, demokrasi dan
Gender. Iklim saling bhakti Smaranam ini sangat dibutuhkan oleh Tri
Manggalaning Yandnya.
4. Padasevanam.
Padasevanam
adalah Bhakti dengan jalan Menyembah/ Sujud/Hormat. Arah vertikal mari dalam
menjalani dan menata kehidupan ini kita selalu sujud dan hormat kepada Tuhan,
hormat dan sujud terhadap intruksi dan pesan dari hukum Tuhan (Rtam). Arah
horizontal mari kita selalu menumbuhkan kesadaran untuk menghormati para pendahulu
kita, pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang telah dijadikan dan
disepakati sebagai sumber hukum, para pemimpin kita, para orang tua kita dan
yang tidak kalah penting juga hormat/sujud kepada Ibu Pertiwi. Karena dengan
adanya kesadaran untuk saling menghormati inilah kita akan bisa hidup
berdampingan dalam kebhinekaan/pluralisme sehingga terwujud kesatuan dalam
keberagamaan Hindu. Iklim saling bhakti Padasevanam ini sangat dibutuhkan oleh
Tri Manggalaning Yandnya.
5. Arcanam.
Arcanam
adalah Bhakti dengan jalan Penguatan, Pengakuan dan Pemberian Penghargaan. Arah
vertikal mari dalam menjalani dan menata kehidupan ini kita hendaknya
menunjukan rasa hormat /sujud kita kepada Tuhan dengan penguatan jiwa atau
sraddha yang kuat dengan jalan menghaturkan sebuah penghargaan sebagai bentuk
ucapan terimakasih atas tuntunan, bimbingan, perlindungan, kekuatan, kesehatan
dan anugrah yang diberikan Tuhan kepada seluruh sekalian alam. Arah horizontal
mari kita terutama kepada sesama dalam hidup ini kita harus belajar untuk
memberikan penguatan/penghargaan kepada orang lain. Contoh, Pemerintah/pemimpin
hendaknya memberikan penghargaan kepada rakyatnya yang telah menunjukan
dedikasinya tinggi terhadap segala aspek kehidupan demi kemajuan Negara
Indonesia ini. Demikian juga rakyat hendaknya memberikan sebuah pengakuan dan
penghargaan apabila ada pemimpin yang betul-betul mengabdi untuk kepentingan
bangsa dan Negara dan bahkan dunia. Karena pemimpin yang baik menghargai
rakyatnya, demikian juga sebaliknya. Iklim saling bhakti Arcanam ini sangat
dibutuhkan oleh Tri Manggalaning Yandnya.
6. Wandanam.
Wandanam
adalah Bhakti dengan jalan Membaca. Arah vertikal mari dalam menjalani dan
menata kehidupan kita ini dengan selalu meluangkan waktu untuk membaca kitab
suci, sastra sastra suci, dan pengetahuan yang lain tentang Tuhan sebagai
pedoman hidup, sehingga arah pilihan hidup kita ini sesuai dengan apa sabda
suci Tuhan yang tertuang dalam kitab suci/atau sumber hukum agama yang kita
anut, tentunya dengan selalu tidak menutup diri/mengabaikan hal-hal yang ada
diluar diri kita. Arah horizontal mari kita, terutama kepada sesama dan
lingkungan sekitar kita untuk selalu membaca situasi untuk menuju arah yang
lebih baik, baik yang dimaksud selalu dalam bingkai persatuan, kedamaian,
demokrasi dan gender. Karena apabila salah dalam membaca situasi maka salah
juga dalam pengambilan keputusan. Iklim saling bhakti Wandanam ini sangat
dibutuhkan oleh Tri Manggalaning Yandnya.
7. Dasyam.
Dasyam
adalah Bhakti dengan jalan Mengabdi/Pelayanan. Arah vertical mari dalam
menjalani dan menata kehidupan kita ini, mari bersama sama kita belajar dan mau
untuk mengabdikan diri kita kepada Tuhan, karena hanya kepada Beliaulah kita
semua sekalian alam memohon segalanya apa yang kita harapkan. Termasuk harapan
akan persatuan, kedamaian, demokrasi gender, dll. Arah horizontal mari kita,
terutama kepada sesama dan lingkungan sekitar kita untuk selalu dan mau
mengabdikan diri untuk kepentingan berbangsa dan bernegara, kedamaian abadi dan
kemanusiaan. Iklim saling bhakti Dasyam ini sangat dibutuhkan oleh Tri
Manggalaning Yandnya.
8. Sakyam.
Sakyam
adalah Bhakti dengan jalan Kasih Persahabatan, Mentaati Hukum dan tidak merusak
system Hukum. Baik arah vertical dan horizontal, baik dalam kehidupan matrial
dan spiritual mari kita berusaha untuk tidak merusak system hukum, dan selalu
dijalan kasih persahabatan. Seperti ucap banyak sabda-sabda suci dalam kitab
suci yang kita pilih sebagai pedoman dan tuntunan kihidupan baik jasmani maupun
rohani kita. Iklim saling bhakti Sakyam ini sangat dibutuhkan oleh Tri
Manggalaning Yandnya.
9. Atmanivedanam.
Atmanivedanam
adalah Bhakti dengan jalan Berlindung dan Penyerahan diri secara tulus ikhlas,
kepada Tuhan secara vertikal. Secara horizontal Bhakti dengan jalan Berlindung
dan Penyerahan diri secara tulus ikhlas kepada sesama dan lingkungan/ibu
pertiwi, baik dalam kehidupan duniawi (nyata) maupun kehidupan sunya (niskala).
Iklim saling bhakti Atmanivedanam ini sangat dibutuhkan oleh Tri Manggalaning
Yandnya.
III. PENUTUP
Ketiga komponen Tri Manggalaning Yadnya ini, antara yang
satu dengan yang lainnya hendaknya harus selalu bersinergi dan Bhakti (hormat,
sujud, mencintai, mengasihi, ikhlas) serta tiada henti-hentinya untuk selalu
berjuang dan mempertahankan agar nilai Kesucian, Ketulusan, Kebersamaan,
Penyatuan, dan Pemuliaan dapat tercapai dan dipertahankan. Kitab Suci Veda
menyatakan, sbb:
“Om Samani va akutih, samana hrdayani vah, Samanam astu
vo mano, yatha vah susahasati ”.
Terjemahannya.
“Om Ya Tuhan, semoga
samalah hendaknya tujuan kami, samalah hendaknya hati kami, samalah pikiran
kami, Semoga kami dapat hidup bahagia bersama-sama (satu dalam kebahagiaan)”.
(Rgveda, X.191.2)
“Neha Bhikramanaso sti,
Pratyavayo na vidyate,
Svalpam apy asya dharmasya,
Trayate mahato bhayat”.
Terjemahannya.
“Dalam hal ini tidak
ada usaha sia-sia, dan juga tak ada rintangan yang tak teratasi, Walau sedikit
dari dharma ini akan membebaskan dari cenkraman ngeri/kesengsaraan”
(Bhagavadgita,II.40).
Pesan yang patut juga
ditindaklanjuti oleh Tri Manggalaning Yadnya seperti ucap sastra suci
Kekawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut:
“Mucap ta ya tumut ri sabda ya manon mamoring mata,
Pada waktu berkata
beliau ada dalam perkataan,
(Rikala mabawos Ida
Wenten ring babawosan).
Ngungasta ya lulut ri gandha mamangan tumut mangrasa,
Pada Waktu
mencium/kepekaan beliau ada dalam kepekaan, pada waktu makan beliau ada dalam
makanan,
(Rikala ngambu Ida
ledang ring ambu, rikala ngajeng Ida sareng ring rasa),
Mangidepa tumut ri citta matutur sama tankari,
Pada Waktu berpikir
beliau ada dalam pikiran, pada waktu berwacana beliau ada dalam wacana dan
tidak henti-henti untuk mewartakan.
(Rikala mapikayun Ida
Wenten ring kayun miwah tan mari ring pangeling eling),
Manusuksma siluman ri ngambeka sarira pancendriya”.
Hendaknya beliau
menjadi intisari dalam tubuh yang selanjutnya di jawantahkan melaui segenap
indriya. (Meraga singid ring pikayun maangga sarira antuk Panca Indrya).
Sebagai wasana kata,
semoga proses hidup, kehidupan dan aktivitas keagamaan yang kita lakukan dan
kita jalani: Dari Nara (Manusia) menuju Narayana (Dewa), Bukan sebaliknya yaitu
dari Nara (Manusia) menuju Narayana (Dewa) dan berakhir jadi Narapidana
(Penderitaan/ketidakharmonisan/kehancuran). Semoga bermanfaat dan…
“Om Santih, Santih,
Santih Om”
Update : 26 Juni 2017
Pranam- Mendrajyothi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar