teks berjalan

karmany evadhikarãste, mã phalesu kadãcana, mã karma-phala-hetur bhŭr , mã te sango ‘stv akarmani (B.G. Dwitiya adhyaya, sloka 47) -- Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu (yang kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula berdiam diri tanpa kerja.

Generasi Muda Hindu Anti Narkoba

Selasa, 08 Juli 2025

Pujawali Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari: Memperkuat Identitas Dharma

Suasana Persiapan Pujawali Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari

Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari yang membuat hati kagum dengan bangunan Padmasana menjulang tinggi, terbuat dari batu paras hitam yang di datangkan langsung dari Karangasem Bali, dengan bangunan pendukung lainnya, secara umum telah mengetahuinya beralamat di Jalan Mekar Indah, Kecamatan Kadia, Kota Kendari, tehtunya bukan hanya sekadar bangunan suci, tetapi juga adalah simbol keberanian dan semangat komunal umat Hindu yang merantau ke Sulawesi Tenggara dan secara khusus di Kota Kendari yang ketika itu membangun kehidupan baru, namun tetap setia menjaga ada budaya dan akar spiritualnya. Berdasrakan catatan sejak di tentukan pilihan lokasi dilanjutkan “nyikut karang” pada 23 Februari 1985, hingga tahun berikutnya dilakukan upacara melaspas mendem pedagingan bangunan Padmasana pertama pada 09 Maret 1986, semua proses itu dilalui dengan semangat gotong royong dan rasa bhakti yang tulus. Nama “Jagadhita” yang disematkan pada pura inipun mengandung makna mendalam. “Jagad” berarti dunia atau semesta dan “Hita” berarti kesejahteraan. Harapannya bahwa pura ini bukan hanya tempat sembahyang bersama umat Hindu, tapi menjadi sumber kesejahteraan dan kemakmuran lahir dan batin bagi semua umat Hindu di Sulawesi Tenggara, tanpa sekat golongan, perbedaan warna/jabatan atau identitas asal-usul lainya.

Kini, hampir 40 tahun berselang, Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari telah menjalani banyak transformasi. Tahun 2008 menjadi tonggak pemugaran besar-besaran, mulai dari pemugaran bangunan Padmasana, pembangunan balai pemiosan, pembangunan candi bentar, perluasan areal, pembangunan wantilan sampai pada pelaksanaan upacara karya Agung mamungkah Ngenteg Linggih Tawur Gentuh, yang di puput oleh 12 Pandita dari Bali disusul pada tahun 2018 juga dilaksanakan upacara nutug karya yang ke 10 tahun yaitu karya Agung Pujawali Tawur Gentuh, yang menghabiskan dana tujuh ratusan juta rupiah yang sebagian besar punia dari umat dan bantuan Pemda Provinsi Sulawesi Tenggara. Ini menjadi bukti bahwa semangat memelihara dan menjaga pura tak pernah padam, bahkan terus berkembang. Ia menjadi tempat suci bersama bagi puluhan ribu umat Hindu yang tersebar di Sulawesi Tenggara.

 Pujawali Ruang Refleksi Bersama

Sebagaimana surat pemberitahuan dari pengurus harian PHDI Sultra, Nomor 40/PHDI Sultra/VI/2025, tanggal 16 Juni 2025, yang ditujukan kepada PHDI Kab./Kota se Sulawesi Tenggara bahwa, pelaksnaan Pujawali (hari jadi/lahir) Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari akan dilangsungkan pada 10 Juli s.d 12 Juli 2025 dan puncaknya pada 10 Juli 2025, bertepatan dengan purnama sasih kasa (purnama bulan ke 7 kalender Bali). Berbagai persiapan sudah mulai dilakukan dengan penuh bhakti, mulai dari sejak matur piuning, pemasangan wastra, tenda dan juga persiapan bahan upacara. Momentum ini adalah undangan bagi semua umat Hindu di Sulawesi Tenggara bukan sekadar untuk datang, tapi hadir secara jasmani dan juga spiritual. Hadir untuk memuja kebesaran Hyang Widhi (Tuhan) dan segela manisfestasinya, menghaturkan terima kasih kepada leluhur, kepada para tetua yang telah membangun fondasi, baik secara fisik maupun nilai.

Secara pribadi memandang bahwa Pujawali di Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari selalu punya makna ganda tidak saja bermakna hari jadi dengan pelaksanaan upacara ritual saja tetapi sekaligus ruang refleksi. Dengan melihat kondisi kehidupan kita saat ini dengan segala kemudahan sekaligus tantangan zaman, terkadang lupa bahwa Pura yang kita saat ini kita lihat berdiri megah dengan berbagai bangunan pendukung lainnya yang dahulunya dibangun dengan susah payah, bahwa kita juga lupa bahwa tanah atau lokasi pura itu dahulunya adalah sebuah gunung yang tinggi dan saat ini tertata apik, yang dikerjakan dengan semangat gotong royong dan peluh yang menetes, tanpa pamrih di tengah kondisi umat yang sangat minim, dapat dibayangkan kondisinya saat itu yang tentu sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini, dengan dukungan warga Banjar Kota Kendari yang setiap saat semakin banyak. Untuknya maka setiap langkah menuju pura seharusnya juga menjadi langkah menuju kesadaran bahwa kita memiliki tanggung jawab moral untuk merawat, memelihara, melanjutkan, dan menghidupkan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan. Sampai saat ini kita yang kita ketahui hanya mengaggumi dan memanfaatkanya saja.  Pujawali bukan hanya tentang menghaturkan banten, memberikan punia dan mengikuti upacara. Ia juga tentang meneguhkan kembali jati diri kita sebagai umat Hindu di Sulawesi Tenggara yang hidup dalam kemajemukan. Tentang bagaimana menjadikan pura ini bukan hanya tempat sembahyang, tetapi juga pusat pendidikan, dialog, menguatnya tali kebersamaan, kekeluargaan sekaligus penguatan identitas budaya di tengah arus globalisasi yang mengikis nilai-nilai luhur yang telah diwarisi.

Memelihara Warisan dan Mendoakan 

Dalam konteks kehidupan beragama saat ini Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari adalah jangkar identitas umat Hindu di Sulawesi Tenggara. Ia bukan benteng eksklusif, tapi pelabuhan spiritual tempat seluruh umat Hindu menyejukkan hati dan jiwa. Ia bukan menara gading, tapi mercusuar yang memberi arah di tengah samudera tantangan hidup beragama. Melalui moment Pujawali ini, marilah kita tidak sekedar hadir. Mari kita bawa serta kesadaran untuk terus merawat dan memelihara apa yang telah diwariskan oleh para tokoh dan para pendahulu yang pernah berjuang akan berdirinya pura ini, baik yang masih ada dan yang telah tiada, mengenang perjuangannya dan sekaligus mendoakan. Pura penataran Agung Jagadhita ini akan terus menjadi simbol identitas kebesaran dan menyala jika seluruh umat Hindu di Sulawesi Tenggara dapat terus menjaganya dengan cinta, semangat kebersamaan, rasa memiliki, persatuan dan kesatuan dan dengan bhakti yang tidak lekang oleh waktu.

Penulis: Nang Bagia/Kadek Yogiarta: Sekretaris PHDI Sulawesi Tenggara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Menarik Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...