teks berjalan

karmany evadhikarãste, mã phalesu kadãcana, mã karma-phala-hetur bhŭr , mã te sango ‘stv akarmani (B.G. Dwitiya adhyaya, sloka 47) -- Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu (yang kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula berdiam diri tanpa kerja.

Generasi Muda Hindu Anti Narkoba

Sunday, October 13, 2013

BISAMA | LOKA DRESTA

BISAMA  LOKA DRSTA [1]
Oleh :
I PUTU SUDIARTA [2]

Om Swastyastu,
 
1. PENDAHULUAN
Dalam  ajaran  Agama   Hindu  umatnya  diberikan  sebuah kebebasan untuk  melaksanakan  ajarannya, tidak  mempergunakan  dokrin -dokrin   yang diterapkan  oleh  ajaran  Agama  lain  yang  mengharuskan Umatnya   sama  dan tidak boleh terjadi perbedaan. Jika  berbeda  dalam pelaksanaannya  maka mereka  dianggap sesat  dan tidak sesuai  dengan  ajaran  Agamanya.
Di dalam pemahaman  Agama Hindu terjadi banyak perbedaan   dalam melaksanakan  ajarannya  sehingga   kelihatannya  agama  Hindu  adalah  agama yang berbeda. Pebedaan disebabkan  karena  adanya drsta (kebiasan-kebiasaan) dalam  penerapannya sehingga  orang lain memandang  dan bahkan umat Hindu sendiri  yang memilki pemahan rendah memandang bahwa Hindu itu  adalah agama yang berbeda  dan tidak mungkin  sama.

Dalam menghadapi  penomena  ini  sebagai umat  Hindu  hendaknya menyikapi  dengan  pandangan atau drsta  yang  sama.Walaupun berbeda  dalam pandangan  namun  sama  dalam tujuan. Pada prinsifnya  Hindu adalah  agama yang  sama  karena sama-sama  mengacu pada  ajaran Weda, kelihatan berbeda karena  dalam pelaksanaannya  mempergunakan tafsiran –tafsiran yang   berbeda  sehingga  dalam pelaksanaanyapun berbeda  sesuai dengan kemampuan  dan tafsir. Untuk  menyamakan  persepsi  dan  cara  pandang  terhadap  Agama  maka perlu  adanya  sebuah  bisama  dengan tujuan agar  perbedaan masing-masing dapat dipahami  dan dihormati  oleh  pemanandang  yang berbeda.

2.  KOSEP BISAMA  LOKA DRSTA

a. Bisama
Dalam kamus Jawa Kuna – Indonesia oleh Mardiwarsito, dikatakan bahwa Bhisama berasal dari kata Bhisana (Sansekerta) yang berarti: mengerikan, menakutkan, berbahaya, hebat ( Mardiwarsito, 1981). Penggunaan kata ini misalnya dapat dilihat dalam kekawin Ramayana Sarga XX bait 23, disana disebutkan : "....sabda nyatita bhisana kagiri-giri purakeng deg widesa" artinya Sinarnya sangat menakutkan memenuhi segala penjuru"
P.J. Zoetmulder dalam kamus Jawa Kuna – Indonesia menyebutkan bahwa Bhisama berasal dari kata Wisana (Sansekerta) yang berarti : tak sama, berbeda, ganjil, Tak dapat disamai, sulit, sukar, tak menyenangkan hati, berbahaya, mengerikan, hebat, tak dapat disetujui, tak jujur, curang, tak adil (Zoetmulder, 1995).Penggunaan kata ini dapat dilihat pula dalam kekawin Ramayana 1.53., disana disebutkan:

An lakwekki Si Rama,
Lumange musuh maharsi ring patapan,
Pejahawas ya kasambya,
Apan rare tan wruhing bhisama. (RYL 53.)

Artinya:

Ya, jika sekiranya berjalan kini Sri Rama,Memerangi musuh sang maha Rsi di pertapaan,Tentu akan matilah ia tertipu. Karena ia masih muda usia belum tahu bahaya.
Hana kari catakanta ya kinon mahaseng prethiwi Sumusupananang alas bhisama satru hang matapa Yakita tahanta bhayawa humeneng pwa kiteng bhisama, Ya ikang kadurnayanta amengani bakanta pejah.

Artinya:

Utusan  paduka tuanku yang dititahkan berkelana di dunia, Agar menyusupi hutan belantara yang sulit dijalani tempat musuh melaksanakan tapa, Mereka itulah yang patut tuanku pikirkan, Janganlah tuanku berdiam diri terhadap bahaya Mengancam. Itulah kekurang bijaksanaan Tuanku, Yang menyebabkan bala tentara Tuanku menemui ajalnya.

Menurut Ida Pedanda Putra Telaga (mantan Ketua Umum PHDI Pusat) menyatakan bahwa Bhisama adalah merupakan suatu piteket, perintah, titah secara niskala datang dari atas dan secara skala datang dari pengelingsir Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Bhisama adalah merupakan warah-warah dari leluhur yang berisi suatu nasehat yang bertujuan mengatur, dan apabila dilanggar maka yang melanggar akan mendapatkan sanksi secara niskala, moral dan kena kutuk
Ida Pedanda Pemaron menyatakan bahwa Bhisama adalah sebuah kata yang mengandung makna magis dan sakral, dalam bahasa Jawa Kuna disebut tuah. Kata Bhisama juga bisa disejajarkan dengan kata pemastu yaitu sebuah kata yang sangat suci dan sakral. Bhisama juga mirip dengan pengertian kata tantu (misalnya Tantu Pagelaran). Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa Bhisama adalah tuah, pemastu dan tantu yang diharapkan bisa menata, mengarahkan perilaku umat Hindu.
Ida Bagus Putu Windia (mantan Wakil Ketua PHDI Prop Bali) dari Klungkung mengatakan, Bhisama dapat dikatakan sebagai hukum untuk mengikat umat Hindu dalam memantapkan pelaksanaan ajaran agama. Bhisama adalah ketentuan yang mengatur tentang kewenangan dan wates-wates. Lebih lanjut dikatakan Bhisama dapat diartikan pula sebagai pesan, hal ini dapat dilihat dalam parwa-parwa seperti dalam Salya Parwa
Drs. Ida Bagus Gede Agastya memberi pandangan bahwa Bhisama adalah kutukan, perintah, pewarah-warah dan juga aturan keluarga
Menurut Drs Ketut Wiana Bhisama adalah petuah atau pesan yang sasarannya adalah masyarakat umum, agar manusia jangan lupa kepada Tuhan, jangan lupa kepada leluhur dan selalu berbuat baik. Walaupun ada Bhisama Raja, bhisama leluhur namun esensinya adalah sama yaitu petuah agar berbakti kepada Tuhan.
Jero Mangku Gede Ketut Soebandi mengatakan bahwa Bhisama tersebut memuat piteket yakni pemberitahuan, peringatan, nasehat, perintah dan teguran dari Ida Bhatara-Bhatari Kawitan dan leluhur. Apabila ada pelanggaran terhadap piteket-piteket tersebut, akan menimbulkan akibat fatal bagi pelanggarannya.
Dari kutipan dan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Bhisama adalah perintah­-perintah (baik berupa pewarah-warah, dan nasehat-nasehat) ataupun larangan-larangan (piteket-piteket) yang diharapkan bisa menata, mengarahkan prilaku umat Hindu. Bagi siapa yang melanggar pewarah­warah, nasehat-nasehat ataupun piteket-piteket tersebut akan berakibat fatal bagi pelanggarnya (akan kena sanksi yang berat dan berbahaya) berupa kutukan-kutukan yang sangat memberatkan dan membahayakan. Bhisama ini dikeluarkan oleh seorang pandita ataupun majelis pandita (Paruman Pandita), orang yang betul-betul suci baik dilihat dari pengetahuannya, sikap dan prilakunya sehari-hari (menjalankan ajaran agama terutama Trikaya parisudha). Secara singkat dapat dikatakan bahwa Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia adalah aturan-aturan yang berisi perintah-perintah ataupun larangan.larangan yang dikeluarkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia ( Paruman pandita) yang bertujuan untuk menata, memantapkan dan mengarahkan umat Hindu di Indonesia guna menyongsong kehidupan beragama yang lebih baik.

b. Drsta
Ada empat jenis Dresta, yaitu: Kuna Dresta, Desa Dresta, Loka Dresta, dan Sastra Dresta. Arti sebenarnya dari Dresta yang ditulis dalam kamus Bahasa Kawi Prof. Drs. S. Wojowasito: drsta = terlihat, kelihatan, sudah dilihat.
Kuna Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan sudah diwarisi sejak dahulu. Desa Dresta  adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan berlaku di suatu wilayah tertentu. Loka Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini oleh sekelompok orang. Sastra Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini berdasarkan kebenaran Weda, Wedangga, dan Upaweda.
Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta adalah kelompok Dresta yang tidak berdasar Weda, Wedangga dan Upaweda, oleh karena itu ketiga Dresta itu terkena pengaruh: desa, kala, patra; artinya bisa tidak kekal atau dapat berubah, dan tidak universal. Sastra Dresta berdasar Weda, Wedangga dan Upaweda, oleh karena itu Sastra Dresta tidak terkena pengaruh: desa, kala, patra; artinya kekal atau tidak dapat berubah, dan universal. Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta lahir dari perjalanan sejarah, sedangkan Sastra Dresta lahir dari wahyu Ida Sanghyang Widhi Wasa dan anumana pramana para Maha Rsi.


3. KEWAJIBAN UTAMA DESA PAKRAMAN MENEGAKKAN TATTWA

Evamacaaratodrstvaa
Dharmasya manuyo gatim
Sarvasya tapaso muulam
Aacaram jagrhuh param.
(Manawa Dharmasastra.I.110)

Maksudnya:

Orang suci hendaknya mengajarkan bahwa drsta (kebiasaan) itu harusnya berdasarkan hukum suci (dharma) dan menetapkan bahwa perbuatan baik adalah sumber terbaik dari semua pengendalian diri (tapa).

DESA pakraman menurut swadharmanya menegakkan linging Sang Hyang Aji sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Mpu Kuturan. Dalam kamus Jawa Kuno kata Sang Hyang Aji artinya kitab suci. Yang dimaksud kitab suci dalam hal ini, sastra suci ajaran Hindu. Jadi, kewajiban utama dari desa pakraman adalah menerapkan ajaran agama Hindu. Penerapan tersebut sampai menjadi sebuah tradisi Hindu. Agama yang diamalkan sampai menjadi kebiasaan (Weda Abyasa) dalam sloka yang dikutip di atas disebut drsta. Kata drsta berasal dari kata drs artinya memandang. Drsta artinya pandangan atau paradigma. Yang diterapkan dalam suatu desa pakraman adalah ajaran sastra suci Hindu yang sudah menjadi pandangan bersama dalam suatu desa pakraman.
Ajaran Hindu itu sangat luas. Keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala setiap desa pakraman itu sangat berbeda-beda. Namun yang harus ditegakan oleh setiap desa pakraman adalah Tattwa dari agama Hindu yang sama dan universal. Keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala yang berbeda-beda itu menyebabkan bentuk luar penerapan tattwa agama Hindu yang universal itu menjadi wujud drsta atau kebiasaan yang berbeda-beda. Namun yang dikemas tetap adalah tattwa yang sama.
Drsta (kebiasaan) itu harus selalu berdasarkan dharma sebagaimana dinyatakan dalam sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di atas. Drsta yang diterapkan di desa pakraman adalah drsta yang berdasarkan kebenaran suci atau dharma. Kebenaran suci itu juga disebut tattwa. Tattwa inilah yang harus selalu menjadi isi dari pada drsta
Jangan sampai drsta itu jauh bertentangan dengan dharma. Zaman terus berjalan dan terus berubah. Desa drsta atau kebiasaan dalam suatu desa. Loka drsta yaitu kebiasan yang berlaku dalam suatu daerah. Purwa drsta atau kebiasaan di masa lampau harus terus-menerus disesuaikan dengan perjalanan zaman yang terus berubah itu. Jangan ada drsta yang sudah tidak menjadi media penegakan Tattwa atau kebenaran dharma terus dipertahankan.
Pada kenyataannya masih banyak ada desa pakraman yang justru masih mempertahankan drsta yang sudah usang dan bertentangan dengan dharma. Seperti mempertahankan tradisi manak salah, asu mundung, alangkahi karang hulu. Bahkan dewasa ini ada yang mewajibkan umatnya ikut aktif sabungan ayam. Semuanya itu sudah sangat bertentangan dengan dharma.
Ada yang melakukan upacara agama yang mewah dengan tidak memperhitungkan landasan sastra yang dijadikan acuan, demikian juga waktu, dana dan tenaga yang dihabiskan. Semuanya itu akan menjadi beban yang memberatkan umat. Umat memang sering tidak berani menyatakan keberatannya itu secara terbuka. Umumnya takut kena suryak siu. Kalau hal ini dibiarkan terus maka beragama itu akan bergeser menjadi beradat yang memberatkan dan makin jauh dari kebenaran agama.
Karena itu, wajib direnungkan terus untuk dibenahi dengan mengevaluasi dan menganalisis kembali berbagai drsta yang ada. Drsta mana yang perlu diubah dan yang mana yang masih perlu dipertahankan. Semuanya itu dilakukan semata-mata untuk menegakkan Tattwa sebagai kewajiban utama dari desa pakraman. Kalau Tattwa ini sudah tidak ditegakkan lagi oleh desa pakraman maka jati diri desa pakraman itu akan hilang. Mungkinkah Bali akan ajeg tanpa mempertahankan jati diri desa pakraman sebagai lembaganya umat Hindu untuk menegakkan kebenaran atau Tattwa?
Umat hendaknya mampu diajak berpikir bahwa melakukan yadnya itu adalah suatu pengorbanan mereka yang beryadnya kepada orang lain. Tetapi dewasa ini banyak upacara yadnya yang dilakukan dengan mengorbankan orang lain. Misalnya, menutup jalan seenaknya. Bahkan ada sementara oknum pecalang yang sangat arogan menggertak para pemakai jalan yang justru dirugikan.
Kalau terpaksa menutup atau mengalihkan jalan, lakukanlah hal itu menurut prosedur hukum yang berlaku. Relakanlah mengeluarkan tenaga untuk mengatur lalu lintas membantu Polantas dengan tenaga yang memiliki etika dan paham berkomunikasi yang baik. Desa pakraman jangan merekrut pecalang dari orang yang ugal-ugalan bagaikan preman. Hal ini sangat wajib dilakukan demi menjaga citra positif dari upacara yadnya yang dilakukan. Upacara yadnya yang lebih banyak mengorbankan orang lain, maka upacara yadnya tersebut adalah upacara yadnya yang berkualitas rendah. Desa pakraman hendaknya menata pelaksanaan agama yang memuat umat maupun orang lain bersimpati

4. DEGRADASI (KEMEROSOTAN)  DAN UPAYA  INTIMIDASI UPACARA AGAMA

Upacara  keagamaan  yang  di laksanakan  Umat  hindu  merupakan  sebuah  kewajiban   dan diamanatkan  oleh kitab suci Weda.dalam bawadgita  bahkan  di sebutkan  barang  siapa  yang  mempersembahkan sedikit  bunga,daun,buah,air dan api  akan  di  terima olehNya.Namun dalam pelaksanaannya  umat  hindu mengembangkannya  dengan berbagai  macam  bentuk sesuai  dengan  budaya  daerah  masing-masing.
Dalam pelaksanaan  upacara keagamaan umat  Hindu di amanatkan  bahwa dapat  dilaksanakan  sesuai  dengan  kemampuan. namun  realita  yang  penulis amati di tingkat masyarakat  terjadi ketimpangan-ketimpangan.dimana masih  adanya intimidasi,dokrinisasi  dari pihak tertentu  sehingga  pelaksanaannya   di dasari  dengan Yadnya  yang tulus  menjadi terpaksa  dan  bahkan  membuat  menderita.
Indoktrinisasi adalah suatu cara memasukkan ajaran kepada orang lain untuk mencuci otak orang yang mendengarkannya. Orang-orang yang diindoktrinisasi lama kelamaan akalnya tidak berfungsi sehingga mereka percaya membabi buta terhadap ajaran itu. Biasanya memakai mitos atau dogma yang dikaitkan dengan agama Hindu agar umat Hindu cepat menerimanya.
Sedangkan intimidasi adalah menekan dan menakut-nakuti agar mental orang yang diintimidasi jatuh, tidak percaya diri, rendah diri (minder), ketakutan dan menurut seperti kerbau yang dicolok hidungnya. Orang-orang yang diintimidasi menjadi amat ketergantungan  Dengan demikian, setiap mereka akan melakukan upacara pasti mohon petunjuk kepada oknum tertentu . Pada waktu mereka memohon petunjuk, disitulah oknum merekayasa “politik daksina” dimasukkan pada upacara dengan cara menggelembungkan tingkatan upacara.
Salah satu contoh indoktrinisasi  sebagai berikut; “Jika anda mau berkorban suci melakukan upacara yadnya dengan tulus iklas untuk Sang Hyang Widhi maka anda akan mendapatkan pahala kemakmuran, keselamatan, ketentraman, dan kedamaian. Semua dresta, gering dan penyakit niskala akan hilang dari pekarangan rumah anda”. Karena dikatakan untuk Sang Hyang Widhi dan dengan iming-iming niskala maka dengan sendirinya umat bersemangat mengorbankan apa saja yang dimilikinya. Ada yang mengorbankan tanah, ternak, perhiasan, bahkan ada dengan jalan pinjam kredit di Bank untuk biaya upacara dengan harapan mendapat pahala tetapi “lacur”, setelah upacara selesai, lama menunggu-nunggu yang datang bukannya pahala, tetapi tagihan hutang dan kesulitan ekonomi.

Mengenai contoh masalah intimidasi dan Indokrinisasi di ungkapkan sebagai berikut:
  1. Jika anda tidak melaksanakan upacara ngenteg linggih 30 tahun sekali, maka tidak ada dewa atau bethara melinggih di merajan anda”. Orang yang otaknya sudah dibius dengan dogma-dogma menjadi ketakutan mendengar penjelasan itu karena mereka merasa sudah lebih dari 30 tahun tidak melaksanakan upacara ngenteg linggih. Dengan demikian mereka memaksakan diri melakukan upacara ngenteg linggih dengan biaya ratusan juta rupiah. Bahkan di salah satu desa pekraman ada yang menghabiskan biaya sampai 2,6 Milyar rupiah. Secara terpaksa mereka menjual apa saja yang dimiliki. Beberapa diantaranya bahkan berhutang dengan harapan agar “Dewa malinggih di Merajannya”. Tetapi umat  yang cerdas dan mengerti dengan “tattva vyapi vyapaka nirvikara” dan “sarva jagat pratistanem” yang artinya Sang Hyang Widhi ada di mana-mana dan hadir di semua tempat seluruh jagat raya ini, maka mereka tertawa geli mendengar pernyataan  yang menyatakan tidak ada “Dewa malinggih di Merajan”.
  2. Kalau kurang banten-nya, saya tidak berani muput. Kalau ada orang lain yang berani muput, silahkan risikonya ditanggung sendiri”. Orang yang otaknya sudah dicuci  menjadi ketakutan, sehingga terpaksa memaksakan diri membuat banten sebanyak yang disuruh. Walaupun dengan jalan berhutang membuat banten demi mau disahkannya upacara tersebut. Namun apa yang terjadi setelah upacara selesai? Pikiran sang empunya upacara tidak pernah tentram karena dihantui oleh bayang-bayang hutang.
  3. Kamu orang Sudra tidak boleh muput upacara. Sang Brahmana baru boleh. Sekarang memang banyak orang pintar, tetapi bukan berarti boleh”. Krama Bali yang akalnya sudah terbius oleh dogma ini rela dirinya direndahkan sehingga tidak berani menyelenggarakan upacara jika tidak dipuput oleh sang Brahmana. Mereka mengira upacaranya tidak akan diterima oleh Sang Hyang Widhi jika tidak dipuput oleh sang brahmana. Bahkan karena cap Sudra yang diberikan, Krama Bali sampai kehilangan kepercayaan diri, minder dan menganggap diri rendah sehingga mau saja diremehkan, dikata-katai kasar dan dijadikan budak.  Tetapi tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Krama Bali yang cerdas. Mereka sudah pasti tidak mau tunduk pada politik akal busuk seperti itu. Mereka berusaha membaca lontar-lontar dan kitab suci Veda yang ada. Berusaha mengerti tentang banten, cara melakukan upacara dan puja-mantranya. Setelah tahu caranya, maka mereka mampu melakukannya sendiri. Mereka ingin merdeka dalam berhubungan langsung dengan Sang Hyang Widhi tanpa harus dikekang. Jika  oknum Krama Bali lainnya merendahkan soroh “jaba” dan meninggikan soroh “ida bagus”, maka oknum ini sebenarnya dibenci oleh Dewa Bayu karena melanggar hukum agama yang salah satunya tercantum dalam Manawa Dharmasastra VII.20. Veda sendiri mengatakan “vasudaiva kutumbakam, semua mahluk hidup bersaudara”. Jadi mereka yang melakukan diskriminasi seperti itu pada dasarnya adalah orang yang durhaka terhadap Veda. Mereka adalah orang-orang sok pintar tetapi sujatinya sangat bodoh. Sistem wangsa yang ada di Bali bukanlah buah dari ajaran Hindu, tetapi buah ajaran feodalisme. Veda tidak pernah mengatakan kedudukan Brahaman, Ksatrya, Vaisya dan Sudra ini berasal dari keturunan. Berkali-kali Veda menegaskan bahwa hal ini muncul dari guna (sifat) dan karma (pekerjaan) orang yang bersangkutan. Mau dia keturunan Brahmana atau Kesatriya, kalau tingkah lakuknya hanya judi dan mabuk-mabukan, sejatinya dia hanyalah kaum candala yang kedudukannya lebih rendah dari keempat golongan (catur varna) yang diakui Veda. Banyak tokoh-tokoh kita yang memiliki kedudukan terhormat, diakui sebagai Brahmana, duduk di Parisada, di Departemen Agama atau di organsiasi adat yang mengaku mampu “ngalinggihan Veda” tetapi perbuatannya sangat sering melanggar sloka-sloka suci Veda. Inilah para tokoh “musang berbulu ayam”. “Politik daksinanya” ibarat musang, Veda ibarat bulu ayam dan soroh sudra adalah ayam. Walaupun si soroh sudra dilecehkan  tetapi mereka tetap setia dan hormat kepada Guru Belog Megandong. Jadi sebenarnya soroh sudra inilah yang berbudi pekerti luhur, yang berusaha mempraktikkan Veda meski tidak tahu isinya.

Dampak buruk indoktrinisasi dan intimidasi  menyebabkan mental Krama Bali miskin. Dari mental yang miskin menyebabkan mereka miskin harta benda. Setelah miskin menjadi susah, kecewa, menyesal, menggerutu, jengkel, marah campur aduk. Kondisi seperti itu membuat frustasi, depresi, mudah salah paham, mudah diasut, akalnya lumpuh bahkan sampai ada yang struk. Akal yang lumpuh tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.


5. PINANDITA IDEAL SEBUAH HARAPAN

Keberadaan seorang Pinandita dimasyarakat Hindu sangat dibutuhkan, tidak ubahnya seperti kebutuhan masyarakat akan : Dokter, guru/dosen, pedagang, petani, bahkan tukang cukur. Kebutuhan akan seorang Pinandita, Pemangku, diperlukan untuk terjawabnya kebutuhan masyarakat akan Pemimpin Yadnya (Nganteb), tentunya sesuai dengan batas-batas yang diperbolehkan, karena Pinandita ini masih Eka-Jati. Kapabilitas seorang Pinandita menjadi pertanyaan seperti halnya tenaga profesional lainnya. Secara umum pertanyaan berpusat pada persyaratan untuk menjadi Pinandita, seperti : syarat pendidikan, moral,etik, pemahaman akan ajaran agama, wawasan luas,kemampuan berdarma-wacana, menjadi problem solving, dan lainnya. Intinya masyarakat ingin memiliki ”Pinandita Yang Ideal”. Tuntutan umat ini sangat tinggi bahkan ideal untuk sosok seorang Pinandita. Disisi lain, sebagai fihak yang dibutuhkan seharusnya Pinandita mempunyai daya tawar atau bargainning  power yang lebih minimal terhadap kesejahtraannya, tetapi ironisnya banyak dari Pinandita ini sangat susah hidupnya, sementara umat kurang memperhatikannya. Lalu fenomena apa sebenarnya yang terjadi dalam interaksi antara Pinandita dan umat ini.
Wacana persyaratan pendidikan tertentu bagi Pinandita, seperti Sarjana Agama atau pernah mengikuti Kursus-kursus agama, itu boleh-boleh saja sepanjang syarat itu hanya salah satu dari beberapa syarat-syarat lainnya yang juga penting seperti syarat moral/etik dan lainnya. Jangan sampai sekolah agama menjadi syarat mutlak yang dikhawatirkan justru menyuburkan busines sekolah sejenis ini atau dengan kata lain Pinandita jadi ladang busines. Jika hanya fokus atau lebih berat pada Ilmu agama, dikhawatirkan hanya memperoleh Pinandita yang mampu/kapabel pada Ilmu-nya atau pada Sertifikat/Ijasah, padahal tidak kalah penting adalah penghayatannya. Hal ini perlu disampaikan karena belajar itu tidak harus disekolah, seorang Pinandita atau calon Pinandita bisa belajar dirumah atau dimana saja juga melalui melihat langsung fenomena masyarakat, bahkan dengan cara ini seorang Pinandita akan lebih menjiwai tugasnya. Syarat lain bahkan yang paling penting adalah terkait dengan moral terutama kadar rohaninya. Seorang Pinandita adalah komunikator antara umat (Sang Yajamana) dengan Sang Pencipta, maka kedalaman batin yang bersumber dari kebersihan jiwanya sangat diperlukan dalam hal ini. Kedalaman batin ini akan membawa dampak yang penting, misalnya saja ketika memberikan pencerahan, atau pemaparan ajaran agama, seorang Pinandita yang tinggi kadar rohaninya, mungkin saja tidak pernah sekolah agama atau tidak bisa mereferensikan omongannya dengan Sloka Weda, tetapi dari hati nuraninya yang dalam serta repleksi terhadap permasalahan orang lain akan mampu menjelaskan atau menjabarkannya dengan baik karena dia mampu berkomunikasi batin dengan orang lain. Pinandita yang tinggi kadar batinnya akan mempunyai karisma yang sangat diperlukan dalam menjalankan swadarmanya terutama ketika memberikan pencerahan. Seorang Pinandita yang ideal memang adalah yang faham ajaran Agama dari Catur Weda dan Bhagawad Gitta, tetapi juga dalam rohaninya, serta peka terhadap permasalahan masyarakat, tetapi tidak mudah memperoleh kriteria itu, sehingga kalau terpaksa harus memilih antara tinggu ilmu agama dengan tinggi kedalaman Rohani dan kesuciannya, maka yang lebih menjadi pilihan adalah ”Pinandita yang dalam rohaninya”. Jadi kriteria utama Pinandita yang baik adalah ”Moralnya”.
Berikut mari umat memasuki kehidupan Para Pinandita, supaya mengerti bagaimana kehidupan mereka. Silahkan datang dan lihat langsung kehidupan mereka apa yang nanti anda lihat. Sebagai gambaran umum bisa disampaikan, bahwa banyak dari kalangan Pinandita ini kehidupannya kurang layak secara sosial ekonomi. Seorang Pinandita bukan Pandita (Brahmana) yang relatif sudah lepas dengan kehidupan keluarga, walau dimasyarakat masih ada Pandita yang disibukkan dengan kehidupan keluarga. Pinandita ini bukan Brahmana tetapi tangan-tangan Brahmana, kedua kakinya berada didua sisi, satu sisi melakukan Fungsi Ke-Pinanditaan, seperti Nganteb, darmawacana, dll. disisi lain dia perlu menghidupi keluarga. Sumber penghasilan adalah ”Sesari” walau sering kita tidak faham dan enggan memberikan sesari lebih. Uang ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dapur, anak sekolah, dan lain-lain, mana cukup ? kadang ada Pinandita yang merangkap sebagai petani, tukang cat, sopir, dan pekerjaan Warna Sudra lainnya, padahal Pinandita adalah menuju ke Warna Brahmana. Kalau kerja rangkap seperti ini terjadi maka kita tidak akan mendapatkan Pinandita yang Ideal. Bagi Pinandita sendiri, walau kurang tepat tetapi inilah cara agar dirinya bisa melakukan tugasnya sekaligus bisa menghidupi keluarga. Umat Hindu mengenal Panca Yadnya, tetapi sangat toleran dan berani mengeluarkan uang besar untuk Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, bagaimana dengan Rsi Yadnya, apa pernah kita memikirkan pakaian putih (kain/kampuh) Pinandita, apa pernah menanyakan bagaimana sekolah anak-anaknya, padahal perhatian dari kita itu sangat dibutuhkan. Di India dalam perayaan ”Satyanarayana Wrata” yaitu suatu perayaan untuk memberikan perhatian (punia) kepada Pandita, Pinandita, dan orang miskin, ini dilakukan pada Purnama. Di Slokantara dan Sarasamuccaya disebutkan Purnama-Tilem adalah waktu yang baik untuk memberikan Punia pada mereka, tetapi ini jarang dimanfaatkan. Tidak heran kemudian muncul ”Paiketan Pemangku” di Bali, sebelumnya sudah ada Paguyuban Pinandita ”Padma” di Karanganyar, Solo, dan sekitarnya. Tindakan Ini baik, karena bisa dimanfaatkan untuk peningkatan pemahaman Ke Pinandita-an, juga bisa untuk mengatasi kebutuhan material. Jangan-jangan muncul ”Koperasi Pinandita” yang menjual kebutuhan sehari-hari bahkan Simpan-Pinjam padahal Pinandita harusnya tidak terikat lagi pada hutang piutang jadi fokus pada Swadarma kePinanditaan. maka semakin jauhlah kita dari kebenaran dengan melalaikan Rsi Yadnya. Masalah lain yang dihadapi Pinandita khususnya yang suku Bali adalah masalah psychologis menghadapi awidya/kebodohan umat atau bentuk keangkuhan, yang tidak mau diperciki tirta Pinandita, dan banyak permasalahan lainnya yang kurang mendapat perhatian Walaka juga pemerintah atau lembaga keagamaan.
Permasalahan lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan Pinandita diluar Bali yang bukan suku Bali, misalnya di kantong-kantong Hindu di Jawa. Masalah sosial ekonomi yang belum baik juga terjadi pada mereka, namun permasalahan rendahnya tingkat pendapatan ini umumnya tidak hanya pada Pinandita tetapi pada masyarakat secara umum di desa-desa kantong Hindu ini, jadi perlu keterlibatan fihak luar untuk membantu. Masalah lain adalah ”Format Ke Pinanditaan mereka”. Hindu bangkit kembali di komunitas Suku Jawa belum lama karena tenggelam sejak abad ke-14 sampai ke-19 (sejak Majapahit Hindu runtuh). Seperti halnya Bebanten, bentuk yadnya, dan cara Pinandita era Majapahit ini menghubungkan diri ke Sang Pencipta, juga tenggelam. Itulah sebabnya Ageman ke Pinanditaan yang dipelihara di Bali oleh leluhur kita dari Jawa yang menetap di Bali, dikembangkan menjadi seperti sekarang dan diajarkan lagi kepada Pinandita baru dari suku Jawa. Faktanya transfer knowledge ke-Pinanditaan ini belum berjalan mulus, apakah karena belum memperoleh pendidikan yang baik dan intensif dari Bali atau justru keengganan Pinandita Jawa mengikuti tata-cara di Bali perlu dicermati lebih teliti. Memang dengan cara sederhana, mantram singkat atau hanya ucapan biasa asal disertai ketulusan dan kepasrahan, maka sudah besar artinya, tetapi tentu akan lebih baik jika kepada Pinandita dari Suku Non Bali ini diberikan ”Format Pinandita Hindu Nusantara”, yang sesuai dengan lingkungan dan kebiasaan mereka dengan prinsif ke-aneka ragaman tetapi bersumber satu, yaitu Sesana Ke-Pemangkuan yang benar. Ini adalah tanggung jawab Paruman Pandita misalnya saja di PHDI Pusat untuk merumuskannya.


6. SIMPULAN

Bhisama adalah perintah­-perintah (baik berupa pewarah-warah, dan nasehat-nasehat) ataupun larangan-larangan (piteket-piteket) yang diharapkan bisa menata, mengarahkan prilaku umat Hindu. Bagi siapa yang melanggar pewarah­warah, nasehat-nasehat ataupun piteket-piteket tersebut akan berakibat fatal bagi pelanggarnya (akan kena sanksi yang berat dan berbahaya) berupa kutukan-kutukan yang sangat memberatkan dan membahayakan.
Kewajiban utama dari desa pakraman adalah menerapkan ajaran agama Hindu. Penerapan tersebut sampai menjadi sebuah tradisi Hindu. Agama yang diamalkan sampai menjadi kebiasaan (Weda Abyasa) dalam sloka yang dikutip di atas disebut drsta.
Menghadapi  kesejahteraan pemangku di butuhkan  kesadaran umat Hindu untuk beryadnya utamanya Rsi Yadnya.

Om Santih, Santih, Santih.

[1]  Disampaikan pada Orientasi Pinadita / Pemangku  se-Provinsi  Sulawesi Tenggara Tahun 2013 
[2]  Pengawas Pendidikan  Agama Hindu  TK SD Kab Konawe  Selatan


No comments:

Post a Comment

Artikel Menarik Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...