BISAMA LOKA DRSTA [1]
Oleh :
I PUTU SUDIARTA [2]
Om Swastyastu,
1. PENDAHULUAN
Dalam ajaran Agama Hindu umatnya
diberikan sebuah kebebasan untuk melaksanakan ajarannya,
tidak mempergunakan dokrin -dokrin yang
diterapkan oleh ajaran Agama lain yang mengharuskan
Umatnya sama dan tidak boleh terjadi perbedaan. Jika
berbeda dalam pelaksanaannya maka mereka dianggap sesat
dan tidak sesuai dengan ajaran Agamanya.
Di dalam pemahaman Agama Hindu terjadi banyak
perbedaan dalam melaksanakan ajarannya
sehingga kelihatannya agama Hindu adalah
agama yang berbeda. Pebedaan disebabkan karena adanya drsta (kebiasan-kebiasaan)
dalam penerapannya sehingga orang lain memandang dan bahkan
umat Hindu sendiri yang memilki pemahan rendah memandang bahwa Hindu
itu adalah agama yang berbeda dan tidak mungkin sama.
Dalam menghadapi penomena ini sebagai umat Hindu
hendaknya menyikapi dengan pandangan atau drsta yang
sama.Walaupun berbeda dalam pandangan namun sama dalam
tujuan. Pada prinsifnya Hindu adalah agama yang sama
karena sama-sama mengacu pada ajaran Weda, kelihatan berbeda
karena dalam pelaksanaannya mempergunakan tafsiran –tafsiran
yang berbeda sehingga dalam pelaksanaanyapun
berbeda sesuai dengan kemampuan dan tafsir. Untuk menyamakan persepsi
dan cara pandang terhadap Agama maka perlu
adanya sebuah bisama dengan tujuan agar perbedaan
masing-masing dapat dipahami dan dihormati oleh pemanandang
yang berbeda.
2. KOSEP BISAMA LOKA DRSTA
a. Bisama
Dalam kamus Jawa Kuna – Indonesia oleh Mardiwarsito, dikatakan bahwa Bhisama
berasal dari kata Bhisana (Sansekerta) yang berarti: mengerikan,
menakutkan, berbahaya, hebat ( Mardiwarsito, 1981). Penggunaan kata ini
misalnya dapat dilihat dalam kekawin Ramayana Sarga XX bait 23, disana
disebutkan : "....sabda nyatita bhisana kagiri-giri purakeng deg
widesa" artinya Sinarnya sangat menakutkan memenuhi segala
penjuru"
P.J. Zoetmulder dalam kamus Jawa Kuna – Indonesia menyebutkan bahwa Bhisama
berasal dari kata Wisana (Sansekerta) yang berarti : tak sama, berbeda,
ganjil, Tak dapat disamai, sulit, sukar, tak menyenangkan hati, berbahaya,
mengerikan, hebat, tak dapat disetujui, tak jujur, curang, tak adil
(Zoetmulder, 1995).Penggunaan kata ini dapat dilihat pula dalam kekawin
Ramayana 1.53., disana disebutkan:
An lakwekki Si Rama,
Lumange musuh maharsi
ring patapan,
Pejahawas ya kasambya,
Apan
rare tan wruhing bhisama. (RYL 53.)
Artinya:
Ya,
jika sekiranya berjalan kini Sri Rama,Memerangi musuh sang maha Rsi di
pertapaan,Tentu akan matilah ia tertipu. Karena ia masih muda usia
belum tahu bahaya.
Hana kari catakanta ya kinon mahaseng prethiwi Sumusupananang alas bhisama
satru hang matapa Yakita tahanta bhayawa humeneng pwa kiteng bhisama, Ya ikang
kadurnayanta amengani bakanta pejah.
Artinya:
Utusan paduka tuanku yang dititahkan berkelana di dunia, Agar
menyusupi hutan belantara yang sulit dijalani tempat musuh
melaksanakan tapa, Mereka itulah yang patut tuanku pikirkan, Janganlah tuanku
berdiam diri terhadap bahaya Mengancam. Itulah kekurang
bijaksanaan Tuanku, Yang menyebabkan bala tentara Tuanku menemui ajalnya.
Menurut Ida Pedanda Putra Telaga (mantan Ketua Umum PHDI Pusat) menyatakan
bahwa Bhisama adalah merupakan suatu piteket, perintah, titah secara
niskala datang dari atas dan secara skala datang dari pengelingsir Lebih
lanjut beliau mengatakan bahwa Bhisama adalah merupakan warah-warah dari
leluhur yang berisi suatu nasehat yang bertujuan mengatur, dan apabila
dilanggar maka yang melanggar akan mendapatkan sanksi secara niskala, moral dan
kena kutuk
Ida Pedanda Pemaron menyatakan bahwa Bhisama adalah sebuah kata yang
mengandung makna magis dan sakral, dalam bahasa Jawa Kuna disebut tuah. Kata
Bhisama juga bisa disejajarkan dengan kata pemastu yaitu sebuah kata
yang sangat suci dan sakral. Bhisama juga mirip dengan pengertian
kata tantu (misalnya Tantu Pagelaran). Lebih lanjut beliau
menyatakan bahwa Bhisama adalah tuah, pemastu dan tantu yang
diharapkan bisa menata, mengarahkan perilaku umat Hindu.
Ida Bagus Putu Windia (mantan Wakil Ketua PHDI Prop
Bali) dari Klungkung mengatakan, Bhisama dapat dikatakan sebagai hukum untuk
mengikat umat Hindu dalam memantapkan pelaksanaan ajaran agama. Bhisama adalah
ketentuan yang mengatur tentang kewenangan dan wates-wates. Lebih lanjut
dikatakan Bhisama dapat diartikan pula sebagai pesan, hal ini dapat dilihat
dalam parwa-parwa seperti dalam Salya Parwa
Drs. Ida Bagus Gede Agastya memberi pandangan bahwa
Bhisama adalah kutukan, perintah, pewarah-warah dan juga aturan keluarga
Menurut Drs Ketut Wiana Bhisama adalah petuah atau
pesan yang sasarannya adalah masyarakat umum, agar manusia jangan lupa kepada
Tuhan, jangan lupa kepada leluhur dan selalu berbuat baik. Walaupun ada Bhisama
Raja, bhisama leluhur namun esensinya adalah sama yaitu petuah agar berbakti
kepada Tuhan.
Jero Mangku Gede Ketut Soebandi mengatakan bahwa
Bhisama tersebut memuat piteket yakni pemberitahuan, peringatan, nasehat,
perintah dan teguran dari Ida Bhatara-Bhatari Kawitan dan leluhur. Apabila ada
pelanggaran terhadap piteket-piteket tersebut, akan menimbulkan akibat fatal
bagi pelanggarannya.
Dari kutipan dan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Bhisama
adalah perintah-perintah (baik berupa pewarah-warah, dan nasehat-nasehat) ataupun
larangan-larangan (piteket-piteket) yang diharapkan bisa menata, mengarahkan
prilaku umat Hindu. Bagi siapa yang melanggar pewarahwarah, nasehat-nasehat
ataupun piteket-piteket tersebut akan berakibat fatal bagi pelanggarnya (akan
kena sanksi yang berat dan berbahaya) berupa kutukan-kutukan yang sangat
memberatkan dan membahayakan. Bhisama ini dikeluarkan oleh seorang pandita
ataupun majelis pandita (Paruman Pandita), orang yang betul-betul suci baik
dilihat dari pengetahuannya, sikap dan prilakunya sehari-hari (menjalankan
ajaran agama terutama Trikaya parisudha). Secara singkat dapat dikatakan bahwa
Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia adalah aturan-aturan yang berisi
perintah-perintah ataupun larangan.larangan yang dikeluarkan oleh Parisada Hindu
Dharma Indonesia ( Paruman pandita) yang bertujuan untuk menata, memantapkan
dan mengarahkan umat Hindu di Indonesia guna menyongsong kehidupan beragama
yang lebih baik.
b. Drsta
Ada empat jenis Dresta, yaitu: Kuna Dresta, Desa Dresta, Loka Dresta, dan
Sastra Dresta. Arti sebenarnya dari Dresta yang ditulis dalam kamus Bahasa Kawi
Prof. Drs. S. Wojowasito: drsta = terlihat, kelihatan, sudah dilihat.
Kuna Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang
diyakini dan sudah diwarisi sejak dahulu. Desa Dresta adalah
kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan berlaku di
suatu wilayah tertentu. Loka Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan
adat dan ritual yang diyakini oleh sekelompok orang. Sastra Dresta adalah
kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini berdasarkan
kebenaran Weda, Wedangga, dan Upaweda.
Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta adalah kelompok Dresta yang tidak
berdasar Weda, Wedangga dan Upaweda, oleh karena itu ketiga Dresta itu terkena
pengaruh: desa, kala, patra; artinya bisa tidak kekal atau dapat berubah, dan
tidak universal. Sastra Dresta berdasar Weda, Wedangga dan Upaweda, oleh karena
itu Sastra Dresta tidak terkena pengaruh: desa, kala, patra; artinya kekal atau
tidak dapat berubah, dan universal. Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta
lahir dari perjalanan sejarah, sedangkan Sastra Dresta lahir dari wahyu Ida
Sanghyang Widhi Wasa dan anumana pramana para Maha Rsi.
3. KEWAJIBAN
UTAMA DESA PAKRAMAN MENEGAKKAN TATTWA
Evamacaaratodrstvaa
Dharmasya manuyo gatim
Sarvasya tapaso muulam
Aacaram jagrhuh param.
(Manawa Dharmasastra.I.110)
Dharmasya manuyo gatim
Sarvasya tapaso muulam
Aacaram jagrhuh param.
(Manawa Dharmasastra.I.110)
Maksudnya:
Orang suci hendaknya mengajarkan bahwa drsta (kebiasaan) itu harusnya berdasarkan hukum suci (dharma) dan menetapkan bahwa perbuatan baik adalah sumber terbaik dari semua pengendalian diri (tapa).
DESA pakraman menurut swadharmanya menegakkan linging Sang Hyang Aji
sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Mpu Kuturan. Dalam kamus Jawa Kuno kata
Sang Hyang Aji artinya kitab suci. Yang dimaksud kitab suci dalam hal ini,
sastra suci ajaran Hindu. Jadi, kewajiban utama dari desa pakraman adalah
menerapkan ajaran agama Hindu. Penerapan tersebut sampai menjadi sebuah tradisi
Hindu. Agama yang diamalkan sampai menjadi kebiasaan (Weda Abyasa) dalam sloka
yang dikutip di atas disebut drsta. Kata drsta berasal dari kata drs artinya
memandang. Drsta artinya pandangan atau paradigma. Yang diterapkan dalam suatu desa
pakraman adalah ajaran sastra suci Hindu yang sudah menjadi pandangan bersama
dalam suatu desa pakraman.
Ajaran Hindu itu sangat luas. Keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala setiap
desa pakraman itu sangat berbeda-beda. Namun yang harus ditegakan oleh setiap
desa pakraman adalah Tattwa dari agama Hindu yang sama dan universal.
Keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala yang berbeda-beda itu menyebabkan bentuk
luar penerapan tattwa agama Hindu yang universal itu menjadi wujud drsta atau
kebiasaan yang berbeda-beda. Namun yang dikemas tetap adalah tattwa yang sama.
Drsta (kebiasaan) itu harus selalu berdasarkan dharma sebagaimana
dinyatakan dalam sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di atas. Drsta yang
diterapkan di desa pakraman adalah drsta yang berdasarkan kebenaran suci atau
dharma. Kebenaran suci itu juga disebut tattwa. Tattwa inilah yang harus selalu
menjadi isi dari pada drsta
Jangan sampai drsta itu jauh bertentangan dengan dharma. Zaman terus
berjalan dan terus berubah. Desa drsta atau kebiasaan dalam suatu desa. Loka
drsta yaitu kebiasan yang berlaku dalam suatu daerah. Purwa drsta atau
kebiasaan di masa lampau harus terus-menerus disesuaikan dengan perjalanan
zaman yang terus berubah itu. Jangan ada drsta yang sudah tidak menjadi media
penegakan Tattwa atau kebenaran dharma terus dipertahankan.
Pada kenyataannya masih banyak ada desa pakraman yang justru masih
mempertahankan drsta yang sudah usang dan bertentangan dengan dharma. Seperti
mempertahankan tradisi manak salah, asu mundung, alangkahi karang hulu. Bahkan
dewasa ini ada yang mewajibkan umatnya ikut aktif sabungan ayam. Semuanya itu
sudah sangat bertentangan dengan dharma.
Ada yang melakukan upacara agama yang mewah dengan tidak memperhitungkan
landasan sastra yang dijadikan acuan, demikian juga waktu, dana dan tenaga yang
dihabiskan. Semuanya itu akan menjadi beban yang memberatkan umat. Umat memang
sering tidak berani menyatakan keberatannya itu secara terbuka. Umumnya takut
kena suryak siu. Kalau hal ini dibiarkan terus maka beragama itu akan bergeser
menjadi beradat yang memberatkan dan makin jauh dari kebenaran agama.
Karena itu, wajib direnungkan terus untuk dibenahi dengan mengevaluasi dan
menganalisis kembali berbagai drsta yang ada. Drsta mana yang perlu diubah dan
yang mana yang masih perlu dipertahankan. Semuanya itu dilakukan semata-mata
untuk menegakkan Tattwa sebagai kewajiban utama dari desa pakraman. Kalau
Tattwa ini sudah tidak ditegakkan lagi oleh desa pakraman maka jati diri desa
pakraman itu akan hilang. Mungkinkah Bali akan ajeg tanpa mempertahankan jati
diri desa pakraman sebagai lembaganya umat Hindu untuk menegakkan kebenaran
atau Tattwa?
Umat hendaknya mampu diajak berpikir bahwa melakukan yadnya itu adalah
suatu pengorbanan mereka yang beryadnya kepada orang lain. Tetapi dewasa ini
banyak upacara yadnya yang dilakukan dengan mengorbankan orang lain. Misalnya,
menutup jalan seenaknya. Bahkan ada sementara oknum pecalang yang sangat arogan
menggertak para pemakai jalan yang justru dirugikan.
Kalau terpaksa menutup atau mengalihkan jalan, lakukanlah hal itu menurut
prosedur hukum yang berlaku. Relakanlah mengeluarkan tenaga untuk mengatur lalu
lintas membantu Polantas dengan tenaga yang memiliki etika dan paham
berkomunikasi yang baik. Desa pakraman jangan merekrut pecalang dari orang yang
ugal-ugalan bagaikan preman. Hal ini sangat wajib dilakukan demi menjaga citra
positif dari upacara yadnya yang dilakukan. Upacara yadnya yang lebih banyak
mengorbankan orang lain, maka upacara yadnya tersebut adalah upacara yadnya
yang berkualitas rendah. Desa pakraman hendaknya menata pelaksanaan agama yang
memuat umat maupun orang lain bersimpati
4. DEGRADASI (KEMEROSOTAN) DAN UPAYA
INTIMIDASI UPACARA AGAMA
Upacara keagamaan yang di laksanakan Umat
hindu merupakan sebuah kewajiban dan
diamanatkan oleh kitab suci Weda.dalam bawadgita bahkan di
sebutkan barang siapa yang mempersembahkan sedikit
bunga,daun,buah,air dan api akan di terima
olehNya.Namun dalam pelaksanaannya umat hindu mengembangkannya
dengan berbagai macam bentuk sesuai dengan budaya
daerah masing-masing.
Dalam pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu di
amanatkan bahwa dapat dilaksanakan sesuai dengan
kemampuan. namun realita yang penulis amati di tingkat
masyarakat terjadi ketimpangan-ketimpangan.dimana masih adanya intimidasi,dokrinisasi
dari pihak tertentu sehingga pelaksanaannya di
dasari dengan Yadnya yang tulus menjadi terpaksa
dan bahkan membuat menderita.
Indoktrinisasi adalah suatu cara memasukkan ajaran kepada orang lain untuk
mencuci otak orang yang mendengarkannya. Orang-orang yang diindoktrinisasi lama
kelamaan akalnya tidak berfungsi sehingga mereka percaya membabi buta terhadap
ajaran itu. Biasanya memakai mitos atau dogma yang dikaitkan dengan agama Hindu
agar umat Hindu cepat menerimanya.
Sedangkan intimidasi adalah menekan dan menakut-nakuti agar mental orang
yang diintimidasi jatuh, tidak percaya diri, rendah diri (minder), ketakutan
dan menurut seperti kerbau yang dicolok hidungnya. Orang-orang yang
diintimidasi menjadi amat ketergantungan Dengan demikian, setiap mereka
akan melakukan upacara pasti mohon petunjuk kepada oknum tertentu . Pada waktu
mereka memohon petunjuk, disitulah oknum merekayasa “politik daksina”
dimasukkan pada upacara dengan cara menggelembungkan tingkatan upacara.
Salah satu contoh indoktrinisasi sebagai berikut; “Jika anda mau
berkorban suci melakukan upacara yadnya dengan tulus iklas untuk Sang Hyang
Widhi maka anda akan mendapatkan pahala kemakmuran, keselamatan, ketentraman,
dan kedamaian. Semua dresta, gering dan penyakit niskala akan hilang dari
pekarangan rumah anda”. Karena dikatakan untuk Sang Hyang Widhi dan dengan
iming-iming niskala maka dengan sendirinya umat bersemangat mengorbankan apa
saja yang dimilikinya. Ada yang mengorbankan tanah, ternak, perhiasan, bahkan
ada dengan jalan pinjam kredit di Bank untuk biaya upacara dengan harapan
mendapat pahala tetapi “lacur”, setelah upacara selesai, lama menunggu-nunggu
yang datang bukannya pahala, tetapi tagihan hutang dan kesulitan ekonomi.
Mengenai
contoh masalah intimidasi dan Indokrinisasi di ungkapkan sebagai berikut:
- “Jika anda tidak melaksanakan upacara ngenteg linggih 30 tahun sekali, maka tidak ada dewa atau bethara melinggih di merajan anda”. Orang yang otaknya sudah dibius dengan dogma-dogma menjadi ketakutan mendengar penjelasan itu karena mereka merasa sudah lebih dari 30 tahun tidak melaksanakan upacara ngenteg linggih. Dengan demikian mereka memaksakan diri melakukan upacara ngenteg linggih dengan biaya ratusan juta rupiah. Bahkan di salah satu desa pekraman ada yang menghabiskan biaya sampai 2,6 Milyar rupiah. Secara terpaksa mereka menjual apa saja yang dimiliki. Beberapa diantaranya bahkan berhutang dengan harapan agar “Dewa malinggih di Merajannya”. Tetapi umat yang cerdas dan mengerti dengan “tattva vyapi vyapaka nirvikara” dan “sarva jagat pratistanem” yang artinya Sang Hyang Widhi ada di mana-mana dan hadir di semua tempat seluruh jagat raya ini, maka mereka tertawa geli mendengar pernyataan yang menyatakan tidak ada “Dewa malinggih di Merajan”.
- “Kalau kurang banten-nya, saya tidak berani muput. Kalau ada orang lain yang berani muput, silahkan risikonya ditanggung sendiri”. Orang yang otaknya sudah dicuci menjadi ketakutan, sehingga terpaksa memaksakan diri membuat banten sebanyak yang disuruh. Walaupun dengan jalan berhutang membuat banten demi mau disahkannya upacara tersebut. Namun apa yang terjadi setelah upacara selesai? Pikiran sang empunya upacara tidak pernah tentram karena dihantui oleh bayang-bayang hutang.
- “Kamu orang Sudra tidak boleh muput upacara. Sang Brahmana baru boleh. Sekarang memang banyak orang pintar, tetapi bukan berarti boleh”. Krama Bali yang akalnya sudah terbius oleh dogma ini rela dirinya direndahkan sehingga tidak berani menyelenggarakan upacara jika tidak dipuput oleh sang Brahmana. Mereka mengira upacaranya tidak akan diterima oleh Sang Hyang Widhi jika tidak dipuput oleh sang brahmana. Bahkan karena cap Sudra yang diberikan, Krama Bali sampai kehilangan kepercayaan diri, minder dan menganggap diri rendah sehingga mau saja diremehkan, dikata-katai kasar dan dijadikan budak. Tetapi tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Krama Bali yang cerdas. Mereka sudah pasti tidak mau tunduk pada politik akal busuk seperti itu. Mereka berusaha membaca lontar-lontar dan kitab suci Veda yang ada. Berusaha mengerti tentang banten, cara melakukan upacara dan puja-mantranya. Setelah tahu caranya, maka mereka mampu melakukannya sendiri. Mereka ingin merdeka dalam berhubungan langsung dengan Sang Hyang Widhi tanpa harus dikekang. Jika oknum Krama Bali lainnya merendahkan soroh “jaba” dan meninggikan soroh “ida bagus”, maka oknum ini sebenarnya dibenci oleh Dewa Bayu karena melanggar hukum agama yang salah satunya tercantum dalam Manawa Dharmasastra VII.20. Veda sendiri mengatakan “vasudaiva kutumbakam, semua mahluk hidup bersaudara”. Jadi mereka yang melakukan diskriminasi seperti itu pada dasarnya adalah orang yang durhaka terhadap Veda. Mereka adalah orang-orang sok pintar tetapi sujatinya sangat bodoh. Sistem wangsa yang ada di Bali bukanlah buah dari ajaran Hindu, tetapi buah ajaran feodalisme. Veda tidak pernah mengatakan kedudukan Brahaman, Ksatrya, Vaisya dan Sudra ini berasal dari keturunan. Berkali-kali Veda menegaskan bahwa hal ini muncul dari guna (sifat) dan karma (pekerjaan) orang yang bersangkutan. Mau dia keturunan Brahmana atau Kesatriya, kalau tingkah lakuknya hanya judi dan mabuk-mabukan, sejatinya dia hanyalah kaum candala yang kedudukannya lebih rendah dari keempat golongan (catur varna) yang diakui Veda. Banyak tokoh-tokoh kita yang memiliki kedudukan terhormat, diakui sebagai Brahmana, duduk di Parisada, di Departemen Agama atau di organsiasi adat yang mengaku mampu “ngalinggihan Veda” tetapi perbuatannya sangat sering melanggar sloka-sloka suci Veda. Inilah para tokoh “musang berbulu ayam”. “Politik daksinanya” ibarat musang, Veda ibarat bulu ayam dan soroh sudra adalah ayam. Walaupun si soroh sudra dilecehkan tetapi mereka tetap setia dan hormat kepada Guru Belog Megandong. Jadi sebenarnya soroh sudra inilah yang berbudi pekerti luhur, yang berusaha mempraktikkan Veda meski tidak tahu isinya.
Dampak buruk indoktrinisasi dan intimidasi menyebabkan mental Krama
Bali miskin. Dari mental yang miskin menyebabkan mereka miskin harta benda.
Setelah miskin menjadi susah, kecewa, menyesal, menggerutu, jengkel, marah
campur aduk. Kondisi seperti itu membuat frustasi, depresi, mudah salah paham,
mudah diasut, akalnya lumpuh bahkan sampai ada yang struk. Akal yang lumpuh
tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
5.
PINANDITA IDEAL SEBUAH HARAPAN
Keberadaan seorang Pinandita dimasyarakat Hindu sangat dibutuhkan, tidak
ubahnya seperti kebutuhan masyarakat akan : Dokter, guru/dosen, pedagang,
petani, bahkan tukang cukur. Kebutuhan akan seorang Pinandita, Pemangku,
diperlukan untuk terjawabnya kebutuhan masyarakat akan Pemimpin Yadnya
(Nganteb), tentunya sesuai dengan batas-batas yang diperbolehkan, karena
Pinandita ini masih Eka-Jati. Kapabilitas seorang Pinandita menjadi pertanyaan
seperti halnya tenaga profesional lainnya. Secara umum pertanyaan berpusat pada
persyaratan untuk menjadi Pinandita, seperti : syarat pendidikan, moral,etik,
pemahaman akan ajaran agama, wawasan luas,kemampuan berdarma-wacana, menjadi
problem solving, dan lainnya. Intinya masyarakat ingin memiliki ”Pinandita Yang
Ideal”. Tuntutan umat ini sangat tinggi bahkan ideal untuk sosok seorang
Pinandita. Disisi lain, sebagai fihak yang dibutuhkan seharusnya Pinandita
mempunyai daya tawar atau bargainning power yang lebih minimal terhadap
kesejahtraannya, tetapi ironisnya banyak dari Pinandita ini sangat susah hidupnya,
sementara umat kurang memperhatikannya. Lalu fenomena apa sebenarnya yang
terjadi dalam interaksi antara Pinandita dan umat ini.
Wacana persyaratan pendidikan tertentu bagi Pinandita, seperti Sarjana
Agama atau pernah mengikuti Kursus-kursus agama, itu boleh-boleh saja sepanjang
syarat itu hanya salah satu dari beberapa syarat-syarat lainnya yang juga
penting seperti syarat moral/etik dan lainnya. Jangan sampai sekolah agama
menjadi syarat mutlak yang dikhawatirkan justru menyuburkan busines sekolah
sejenis ini atau dengan kata lain Pinandita jadi ladang busines. Jika hanya
fokus atau lebih berat pada Ilmu agama, dikhawatirkan hanya memperoleh
Pinandita yang mampu/kapabel pada Ilmu-nya atau pada Sertifikat/Ijasah, padahal
tidak kalah penting adalah penghayatannya. Hal ini perlu disampaikan karena
belajar itu tidak harus disekolah, seorang Pinandita atau calon Pinandita bisa
belajar dirumah atau dimana saja juga melalui melihat langsung fenomena
masyarakat, bahkan dengan cara ini seorang Pinandita akan lebih menjiwai
tugasnya. Syarat lain bahkan yang paling penting adalah terkait dengan moral
terutama kadar rohaninya. Seorang Pinandita adalah komunikator antara umat
(Sang Yajamana) dengan Sang Pencipta, maka kedalaman batin yang bersumber dari
kebersihan jiwanya sangat diperlukan dalam hal ini. Kedalaman batin ini akan
membawa dampak yang penting, misalnya saja ketika memberikan pencerahan, atau
pemaparan ajaran agama, seorang Pinandita yang tinggi kadar rohaninya, mungkin
saja tidak pernah sekolah agama atau tidak bisa mereferensikan omongannya
dengan Sloka Weda, tetapi dari hati nuraninya yang dalam serta repleksi
terhadap permasalahan orang lain akan mampu menjelaskan atau menjabarkannya
dengan baik karena dia mampu berkomunikasi batin dengan orang lain. Pinandita
yang tinggi kadar batinnya akan mempunyai karisma yang sangat diperlukan dalam
menjalankan swadarmanya terutama ketika memberikan pencerahan. Seorang
Pinandita yang ideal memang adalah yang faham ajaran Agama dari Catur Weda dan
Bhagawad Gitta, tetapi juga dalam rohaninya, serta peka terhadap permasalahan
masyarakat, tetapi tidak mudah memperoleh kriteria itu, sehingga kalau terpaksa
harus memilih antara tinggu ilmu agama dengan tinggi kedalaman Rohani dan
kesuciannya, maka yang lebih menjadi pilihan adalah ”Pinandita yang dalam
rohaninya”. Jadi kriteria utama Pinandita yang baik adalah ”Moralnya”.
Berikut mari umat memasuki kehidupan Para Pinandita, supaya mengerti
bagaimana kehidupan mereka. Silahkan datang dan lihat langsung kehidupan mereka
apa yang nanti anda lihat. Sebagai gambaran umum bisa disampaikan, bahwa banyak
dari kalangan Pinandita ini kehidupannya kurang layak secara sosial ekonomi.
Seorang Pinandita bukan Pandita (Brahmana) yang relatif sudah lepas dengan
kehidupan keluarga, walau dimasyarakat masih ada Pandita yang disibukkan dengan
kehidupan keluarga. Pinandita ini bukan Brahmana tetapi tangan-tangan Brahmana,
kedua kakinya berada didua sisi, satu sisi melakukan Fungsi Ke-Pinanditaan,
seperti Nganteb, darmawacana, dll. disisi lain dia perlu menghidupi keluarga.
Sumber penghasilan adalah ”Sesari” walau sering kita tidak faham dan
enggan memberikan sesari lebih. Uang ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
dapur, anak sekolah, dan lain-lain, mana cukup ? kadang ada Pinandita yang
merangkap sebagai petani, tukang cat, sopir, dan pekerjaan Warna Sudra lainnya,
padahal Pinandita adalah menuju ke Warna Brahmana. Kalau kerja rangkap seperti
ini terjadi maka kita tidak akan mendapatkan Pinandita yang Ideal. Bagi
Pinandita sendiri, walau kurang tepat tetapi inilah cara agar dirinya bisa
melakukan tugasnya sekaligus bisa menghidupi keluarga. Umat Hindu mengenal
Panca Yadnya, tetapi sangat toleran dan berani mengeluarkan uang besar untuk
Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, bagaimana dengan Rsi Yadnya, apa pernah
kita memikirkan pakaian putih (kain/kampuh) Pinandita, apa pernah menanyakan
bagaimana sekolah anak-anaknya, padahal perhatian dari kita itu sangat
dibutuhkan. Di India dalam perayaan ”Satyanarayana Wrata” yaitu
suatu perayaan untuk memberikan perhatian (punia) kepada Pandita, Pinandita,
dan orang miskin, ini dilakukan pada Purnama. Di Slokantara dan Sarasamuccaya
disebutkan Purnama-Tilem adalah waktu yang baik untuk memberikan Punia pada
mereka, tetapi ini jarang dimanfaatkan. Tidak heran kemudian muncul ”Paiketan
Pemangku” di Bali, sebelumnya sudah ada Paguyuban Pinandita ”Padma” di
Karanganyar, Solo, dan sekitarnya. Tindakan Ini baik, karena bisa dimanfaatkan
untuk peningkatan pemahaman Ke Pinandita-an, juga bisa untuk mengatasi kebutuhan
material. Jangan-jangan muncul ”Koperasi Pinandita” yang menjual kebutuhan
sehari-hari bahkan Simpan-Pinjam padahal Pinandita harusnya tidak terikat lagi
pada hutang piutang jadi fokus pada Swadarma kePinanditaan. maka semakin
jauhlah kita dari kebenaran dengan melalaikan Rsi Yadnya. Masalah lain yang
dihadapi Pinandita khususnya yang suku Bali adalah masalah psychologis
menghadapi awidya/kebodohan umat atau bentuk keangkuhan, yang tidak mau
diperciki tirta Pinandita, dan banyak permasalahan lainnya yang kurang
mendapat perhatian Walaka juga pemerintah atau lembaga keagamaan.
Permasalahan lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan Pinandita
diluar Bali yang bukan suku Bali, misalnya di kantong-kantong Hindu di Jawa.
Masalah sosial ekonomi yang belum baik juga terjadi pada mereka, namun
permasalahan rendahnya tingkat pendapatan ini umumnya tidak hanya pada
Pinandita tetapi pada masyarakat secara umum di desa-desa kantong Hindu ini,
jadi perlu keterlibatan fihak luar untuk membantu. Masalah lain adalah ”Format
Ke Pinanditaan mereka”. Hindu bangkit kembali di komunitas Suku Jawa belum lama
karena tenggelam sejak abad ke-14 sampai ke-19 (sejak Majapahit Hindu runtuh).
Seperti halnya Bebanten, bentuk yadnya, dan cara Pinandita era Majapahit ini
menghubungkan diri ke Sang Pencipta, juga tenggelam. Itulah sebabnya Ageman ke
Pinanditaan yang dipelihara di Bali oleh leluhur kita dari Jawa yang menetap di
Bali, dikembangkan menjadi seperti sekarang dan diajarkan lagi kepada Pinandita
baru dari suku Jawa. Faktanya transfer knowledge ke-Pinanditaan ini
belum berjalan mulus, apakah karena belum memperoleh pendidikan yang baik dan
intensif dari Bali atau justru keengganan Pinandita Jawa mengikuti tata-cara di
Bali perlu dicermati lebih teliti. Memang dengan cara sederhana, mantram
singkat atau hanya ucapan biasa asal disertai ketulusan dan kepasrahan, maka
sudah besar artinya, tetapi tentu akan lebih baik jika kepada Pinandita dari
Suku Non Bali ini diberikan ”Format Pinandita Hindu Nusantara”, yang
sesuai dengan lingkungan dan kebiasaan mereka dengan prinsif ke-aneka ragaman
tetapi bersumber satu, yaitu Sesana Ke-Pemangkuan yang benar. Ini adalah
tanggung jawab Paruman Pandita misalnya saja di PHDI Pusat untuk
merumuskannya.
6. SIMPULAN
Bhisama adalah perintah-perintah (baik berupa pewarah-warah, dan
nasehat-nasehat) ataupun larangan-larangan (piteket-piteket) yang diharapkan
bisa menata, mengarahkan prilaku umat Hindu. Bagi siapa yang melanggar pewarahwarah,
nasehat-nasehat ataupun piteket-piteket tersebut akan berakibat fatal bagi
pelanggarnya (akan kena sanksi yang berat dan berbahaya) berupa kutukan-kutukan
yang sangat memberatkan dan membahayakan.
Kewajiban utama dari desa pakraman adalah menerapkan ajaran agama Hindu.
Penerapan tersebut sampai menjadi sebuah tradisi Hindu. Agama yang diamalkan
sampai menjadi kebiasaan (Weda Abyasa) dalam sloka yang dikutip di atas disebut
drsta.
Menghadapi kesejahteraan pemangku di butuhkan kesadaran umat
Hindu untuk beryadnya utamanya Rsi Yadnya.
Om Santih,
Santih, Santih.
[1] Disampaikan pada Orientasi Pinadita /
Pemangku se-Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013
[2] Pengawas Pendidikan Agama Hindu
TK SD Kab Konawe Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar